Senin, 20 Februari 2012

Perkembangan Sosial Budaya di Indnesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia.
Kebudayaan atau budaya menurut Bapak Antropologi Indonesia Koenjtaraningrat (1996), adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J. J Honigmann (1973) tentang wujud kebudayaan atau disebut juga ‟gejala kebudayaan‟. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda.
Mengacu pada konsep diatas, jika dikembalikan pada realita yang ada di kehidupan bangsa Indonesia, kiranya kita bisa memilah setiap wujud kebudayaan yang ada, minimal dari yang kita temui setiap harinya. Sejalan dengan itu, kemudian akan muncul pertanyaan klasik ”apakah ada yang namanya budaya Indonesia?”
Ada beberapa budaya besar (bukan dalam konteks baik dan buruk) yang terkait dan selalu dikaitkan dengan kebudayaan Indonesia dalam pencariannya, yakni istilah budaya timur, dominasi sebuah budaya lokal dan pengaruh Islam sebagai agama mayoritas. Pengaitan itu pada dasarnya bukan mengarah kepada pencarian jawaban atas apa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional, tetapi lebih cenderung menjadi sesuatu yang dipaksakan sebagai turunan dari kepentingan ideologis, yang kemudian mengatasnamakan integrasi nasional.
Makalah ini akan membahas tentang proses terbentuknya kebudayaan Indonesia dimulai dari awal keberadaan kebudayaan Indonesia dan proses pembentukan kebudayaan Indonesia.

B.       RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah perkembangan sosial budaya yang ada di Indonesia?

C.    TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
C.1    Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia.

C.2    Manfaat Penulisan
Agar para panbaca makalah mengetahui bagaimana kebudayaan itu berkembang di Indonesia dan mengetahui macam-macam kebudayaan yang ada di Indonesia.


BAB I
PEMBAHASAN

A.       PERKEMBANGAN SOSIAL BUDAYA INDONESIA
Posisi Indonesia terletak di persimpangan dua Samudra (Hindia dan Pasifik) dan dua Benua (Asia dan Australia), yang sejak dahulu merupakan daerah perlintasan dan pertemuan berbagai macam agama dan ideologi serta kebudayaan.
Dalam kondisi yang demikian, maka terdapat 5 lapisan perkembangan sosial budaya Indonesia:
1.        Lapisan sosial budaya lama dan asli, yang memperlihatkan persamaan yang mendasar (bahasa, budaya,dan adat) di samping perbedaab-perbedaan dari daerah kedaerah. Persatuan dan kesatuan yang bersumber kepada lapisan ini tidak di tiadakan oleh datangnya agama dan nilai-nilai baru.
2.        Lapisan keagamaan dan kebudayaan yang berasal dari India . wilaya Indonesia  merupakan pusat pengenmangan peradaban Hindia di pulau Jawa, namun kesadaran akan kebersamaan tetap dijunjung tinggi (Bineka Tunggal Ika).
3.        Lapisan yang datang dengan agama islam tersebar luas di Wilayah Indonesia yang sekaligus juga memberikan corak tata kemasyarakatan, sebagaimana halnya agama Budha dan Hindu yang telah memberi warna pada tatanan masyarakat dan struktur ketata Negaraan.
4.        Lapisan yang datang dari Barat bersama dengan agama Kristen melengkapi kehidupan umat beragama di Indonesia di tengah tengah pengaruh dominasi asing yang silih berganti dari kerajaan kerajaan Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris.
5.        Lapisan kebudayaan Indonesia yang dimualai kesadaran bangsa. Munculnya rasa nasionalisme yang tinggi terhadap kekuasaan asing telah memberikan inspirasi dan tekad untuk mendorong lahirnya gerakan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, kemudian disusul dengan pemantapan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Sejak periode perkembangan Nasional, semakin dirasakannya perkembangan perceturan ideologi yang pada garis besarnya terbagi atas 3 kategori yaitu:
1.        Ideologi yang menitikberatkan pada nilai-nilai agama
2.        Ideologi yang menitikberatkan pada sosialisme
3.        Ideologi yang menitikberatkan pada nasionalisme.
Dalam negara Republik Indinesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, nilai-nilai luhur yang merupakan       kepribadian yang merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa inilah yang kemudian menjadi ideologi dan dasar negara yang di kenal sebagai pancasila, yang akhirnya di tuangkan dalam pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan sosial budaya di Indonesia pada hakikatnya bersumber pada nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam falsafah dan dasar negara pancasila.
Setelah kemerdekaan, salah satu hal penting yang menyangkut konsepsi nusantara dan yang berkembang menjadi wawasan nusantara ialah Deklarasi 13 Desember 1957 tentang wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, 1993).
“Bahawa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang di ukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar daripada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan di tentukan dengan UDD”.

Ada beberapa pertimbangan yang mendorong pemerintah mengeluarkan pernyataan wilayah perairan Indonesia adalah sebagai berikut:
1)        Bentuk geografi RI sebagai suatu negara kepulauan memiliki sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan sendiri pula
2)        Bagi kesatuan wilayah RI, semua kepulauan dan laut harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat
3)        Penetapan batas laut teritorial (1939) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keslamatan dan keamanan Negara RI
4)        Setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan yang di pandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.

B.       PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN INDONESIA
Di daerah Indonesia yang luas terdapat macam-macam kebudayaan, yang satu berbeda dari yang lain di sebabkan oleh perjalanan yang berbeda. Sebagai mana di ketahui, bahwa unsur sejarah yang menentukan perkembangan kebudayaan Indonesia itu terbagi dalam 5 lapis:

1.    Kebudayaan Indonesia asli
Tentulah kebudayaan Indonesia asli, sebelum kedatangan kebudayaan India adlah hasil pertumbuhan sejarah yang berbeda-beda di bebagai pulau dan bagian pulau di Indonesia yang luas ini. Di Indonesia terdapat banyak bahasa daerah dan dalam hukum adat pun jelas kelihatan perbedaan yang nyata antara lingkungan hukum adat yang satu dengan yang lain, meskipun banyak perbedaannya antara penjelmaan kebudayaan yang satu dengan yang lain, ciri diri hakikat yang sama diantara kebudayaan-kebudayaan itu sedemikian banyak dan kennyataannya dapat kita menggolongkan sekaliannya pada dasar kebudayaan yang sama.
Seperti dalam kebudayaan yang bersahaja yang lain  bangsa Indonesia sebelum datang kebudayaan India itu pun dapat dikatakan mempunyai cara berpikir yang kompleks, yaitu besifat keseluruhan dan emosional, yaitu amat dikuasai oleh perasaan. Kepercayaan kepada roh-roh dan tenaga-tenaga yang gaib meresapi seluruh kehidupan, baik kehidupan manusia secara individu, maupun kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.
Ekonomi, Hukum, Pemerintahan, dan Kesenian bukanlah keaktifan manusia yang terpisah pisah, tetapi semuanya itu erat hubungannya, dimana yang satu mulai dan yang satu berakhir serta semuanya berlaku di bawah naungan anggapan dan konsep-konsep agama. Demikian juga perkawinan, kelahiran dan kematian bukanlah kejadian atas diri manusia secara individu, tetapi seluruh masyarakat berkepentingan kepadanya dan oleh karnanya terikat kepada aturan masyarakat.
Salah satu ciri masyarakat Indonesia asli ialah besarnya pengaruh perhubungan darah. Persekutuan itu terjadi dari satu atau beberapa suku dan perhubungan di dalam maupun di antara suku-suku itu diatur oleh adat. Dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia asli terdapat beberapa corak susunan suku, yang menentukan cara menghitung keturunan, menentukan bentuk perkawinan, hak atas tanah, soal warisan, dan sebagainya.
Kehidupan ekonomi masyarakat yang kecil tentulah amat terbatas. Sebagian besar dari keperluan dan bahan-bahan keperluan manusia masih dapat diambil dengan muudah dari alam yang luas, baik untuk makanan maupun untuk keperluan yang lain seperti ramuan rumah, alat pembakaran, bermacam-macam perkakas, dan obat-obatan. Dalam hubungan ini, jelaslah bahwa baik pertanian maupun peternakan masih sangat terbatas. Orang masih sebagian besar mengambil saja dari sumber alam, baik air maupun darat yang sangat kaya. Dalam suasana ini, tiap-tiap keluarga atau suku atau desa itu dalam arti yang luas masih bersifat autarki.
Kalau kita simpulkan uraian tentang nilai-nilai kebudayaan Indonesia asli, dapat dikatakan bahwa kebudayaan itu dikuasai oleh nilai agama, yang ikuti oleh nilai solidaritas (kebersmaan) dan nilai kesenian. Sedangkan sifatnya dalam demokrasi, nilai kuasa dalam susunan dalam masyarakat adalah lemah. Nilai ilmu lemah karna pemikiran yang belum berkembang, sedangkan perasaan masih terlampau berkuasa dalam menghadapi alam. Nilai ekonomi belum juga berkembang karna kekayaan alam belum timbul. Dalam hubungan ini, teknik tak dapat tumbuh karna orang masih terlampau terpengaruh oleh kepercayaan bahwa kecakapan dan kekuasaan yang sesungguhnya terletak pada yang gaib, baik berupa jiwa maupun berupa tenaga gaib.

2.    Kebudayaan India
Pada permulaan kurun masehi bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan Hindu yang datang dari India itu telah lebih maju dari kebudayaan Indonesia asli, tetapi pada pokoknya, kebudayaan Hindu itupun bulat bersahaja dalam arti bahwa dalam kebudayaan itu pun berkuasa agama berdasarkan cara berfikir, komplek dan emosional.
Dalam kebudayaan Indonesia asli pun susunan pikiran masih kabur dalam selubung mistis dan adat, di India lambat laung timbul pribadi-pribadi yang dengan sadar memikirkan dan mengatur dalam susunan pikirannya tentang roh-roh dan tenaga- tenaga yang gaib, tentang manusia dalam hubungan alam dan masyarakat, tentang bahasa, tentang bangunan-bangunan dan sebagainmya.
Dalam ajaran karma dan penitisan atau ingkarnasi kelihatan bahwa kepercayaan bangsa yang bersahaja kepada pengembaraan roh yang disebut animisme, dengan sangat berasio dipikirkan sehingga mendapat fungsi etik yang kuat dalam kehidupan. Mesti diakui, bahwa etik yang berasio dan kuat itu membantu memecah massyarakat india menjadi suatu hierarki evolusi inkarnasi berdasarkan kelahiran yang amat kaku, ia tak dapat mengubah nasibnya yang dibawanya waktu lahirnya. Dilihat dari suatu jurusan etik evolusi inkarnasi itu menjadi tiang agung timbuknya suatu sistem kasta dan feodalisme, yang amat kukuh dan kaku, takdapat di ganggu gugat. Orang yang lahir pada tingkat kasta yang tinggi sebagai brahmana atau satria, tak dapat di ganggu gugat dalam kedudukannya berdasarkan kelahirannya.
Perkembangan rohani dan materi yang terjadi di India  dalam 1000 tahun sebelum masehi yang memberi kedinamisan dalam kehidupan, itu harus dianggap sebagai dorongan dan sebab orang-orang India datang ke pulauan Indonesia sehingga kebudayaan India menjadi faktor yang penting dalam pembentukan kebudayaan Indonesia dan pengaruh itu berjalan lebih dari 1000 tahun lamanya.
Di Indonesia, sesungguhnya pada waktu itulah tumbuh hukum-hukum yang baru yang terpengaruh oleh hukum-hukum india yanng mengatur soal-soal kerajaan yang besar. Semua itu sejalan dengan timbulnya suatu hirarki kepegawaian Negara yang menjalankan pemerintah dan memegang hukum.puncak dari dari hirarki itu.



3.    Kebudayaan Islam
Pada abad ke 14 masehi, bangsa Indonesia pula berkenalan dengan budaya baru yaitu, kebudayaan Islam atau kebudayaan Arab Islam. Seperti kebudayaan indonesia asli dan hindu,kebudayaan islamitupuun berpusat kepada kepercayaan kepada tenaga yang gaib (Tuhan),yang dalam kebudayaan (Agama) Islam dinamakan Allah.Tetapi berbeda dengan animisme dan dinamisme kepercayaan kebudayaan indonesia asli dan berbeda dengan hierarki dewa dewa dan imanentisme kepercayaan kebudayaan india,Dalam kepercayaan islam ada suatu jarak antara manusia, Allah, dan alam.
Dari ayat-ayat Alquran, kitab suci agama Islam, Disimpulkan tentang perhubungaan Allah. Allah yang mah kuasa itu adalah asal dan pencipta segala sesuatu. Dicipkakannya alam semesta dan diaturnya segala sesuatu menurut rencana-Nya dan hukum-Nya. Diciptakannya matahari  dan bintang-bintang, diaturnya hujan agar membasahi tanah dan lain-lain. Allah adalah yanng menciptakan, menumbuhkan, memelihara serta menjaga segala bentuk dan tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Dalam perkembangan islam yang cepat sesudah abad pertama hijrah, dalam waktu yang pendek, kebudayaan islam berkenalan dengan filsafat kebudayaan yunani kuno dengan perantaraan terjemahan yang dibuat kedalam bahasa arab. Dengan demikian, kebudayaan islam menjadi pewaris filsafat dan ilmu-ilmu yang bukan hanya diulang-ulang saja, tetapi terus ditumbuhkan dengan pemikiran dan penyelidikan yang bebas, yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam maupun oleh pemeluk agama Kristen dan Yahudi yang hidup dalam suasana kebebasan kebudayaan Arab-Islam.
Harsoyo (1999) menyebutkan bahwa praktik penyebaran agama Islam itu melalui dua proses, yaitu melalui mekanisme perniagaan yang dilakukan oleh orang-orang India dari Gujarat dan orang-orang Persia, dan yang kedua melalui penguasaan sentra-sentra kekuasaan di pulau Jawa oleh orang-orang Pribumi yang telah memeluk agama Islam; dengan proses yang cukup rumit ini tidak mengherankan kalau kemudian terdapat beberapa perbedaan proses penyerapan agama Islam ini di Indonesia. Untuk orang-orang yang tinggal di daerah pesisir agak berbeda dengan orang-orang yang tinggal di pedalaman; untuk orang-orang yang telah kuat memeluk agama Hindu dan Budha agak berbeda dengan orang-orang yang lebih longgar darinya; untuk yang menerimanya dari orang-orang Gujarat agak berbeda dengan pengaruh Persia; bahkan menurut seorang peneliti Amerika tentang kebudayaan-kebudayaan di Indonesia, Clifford Geertz (1982), keberadaan agama Islam pada suatu masyarakat Jawa Tengah itu dilaksanakan menurut tiga lapisan masyarakat, yaitu agama Islam yang hidup pada kelompok bangsawan yang disebutnya sebagai Priyayi, Islam yang hidup pada kelompok rakyat kebanyakan yang disebutnya sebagai Abangan, dan Islam yang hidup pada anggota-anggota kelompok pesantren sebagai pusat pengkajian agama Islam yang disebut Santri.
Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan. Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan
ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang.
Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing- masing. Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam
juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan.
4.    Kebudayaan modern
Kebudayaan modern ini  dapat juga disebut kebudayaan modern Eropa Amerika dan haruslah kita anggap bermula pada zaman Renaissance. Ini terletak pada zaman yunani yang kura kira lima abad sebelum masehi melepaskan diri mereka dari suasana kebudayaan ekspresif yang dikuasai oleh mitos agama dan mulai berpikir dengan bebas tentang  alam semesta dengan penyelidikannya secara teratur berdasarkan tenaga pikiran dan pancaindera. Kebudayaan Yunani ini tersebar, baik ke arah Asia maupun ke arah Eropa, tetapi terutama sekali di sekitar Lautan Tengah.Bangsa Romawi  dapat dianggap sebagai pewarisnya yang pertama, tetapi tidaklah banyak benar yang dapat ditambahkan oleh bangsa Romawi tentang hal filsafat dan kepada warisan kebudayaan Yunani itu.Sumbangan bangsa Romawi terletak dalam nilai kekuasaan yang berupa organisasi pemerintah dan pembentukan hukum hal kemiliteran dan teknologi.Agama kristen pun sekedarnya menerima pengaruh dari kebudayaan Yunani itu.
Sebagaimana diuraikan terdahulu bagaimana usaha menyatukan kepercayaan dan konsep-konsep agama islam dengan warisan Yunani itu, selain daripada memberikan kemajuan filsafat dan ilmu yang amat sangat tinggi pada kebudayaan islam.
Manusia lamnbat laun bertambah lama bertambah percaya kepada rasio atau tenaga berpikirnya, serta kesanggupannya untuk mengets an menguasai alam sekitarnya. Kebenaran agama yang di wahyukan  terus meneruans akan mendapat  serang dari ahli-ahli pikir,seperti Giordano Bruno, Copernicus, serta Galileo dan lain- lain dalam abad ke-16 dan ke-17. Dalam abad-abad berikutnya perjuangan itu di teruskan oleh Linaeus, Darwin, Marx, dan Freud. Dalam abad ke-19 kekuasaan gereja telah amat berkurang sehinngga dapatlah Darwin mengumumkan pikiran-pikirannya dengan tidak membahayakan jiwanya seperti rekan-rekannya yang lain, justru abad ke-18 hal itu tidak mengherankan lagi, karna antara Darwin dan Renaissans terdapat zaman AUFKLAERUNG.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke 16, kedatangan mereka ke tanah Indonesia ini karena tertarik dengan kekayaan alam berupa rempah-rempah di daerah kepulauan Maluku, rempah-rempah ini adalah sebagai barang dagangan yang sedang laku keras di Eropa pada saat itu. Kegiatan misionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil menanamkan pengaruh agama Katolik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil mendesak bangsa Portugis untuk meninggalkan Indonesia pada sekitar tahun 1600 M, maka pengaruh agama Katolik pun segera digantikan oleh pengaruh agama Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama jika dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Proterstan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnyaa tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan agama Hindu, sekalipun bangsa Belanda berhasil menanamkam kekuasaan politiknya tidak kurang selama 350 tahun lamanya di Indonesia.
Dalam proses kontak antara unsur-unsur budaya yang satu dan budaya yang lain, terjadilah saling mempengaruhi (interaksi) antara kebudayaan itu, dalam proses interaksi itulah akan timbul permasalahan tentang perubahan kebudayaan, yaitu makin melemahnya nilai-nilai budaya sendiri. Begitu juga apabila interaksi dengan budaya asing sangat kuat padahal sebenarnya tidak sesuai dengan kepribadian budaya bangsa kita. Dalam konteks modernisasi, suatu keadaan yang sarat dengan peniruan gaya hidup asing, karena orang ingin disebut modern maka mereka tidak segan-segan untuk meniru gaya hidup masyarakat Barat, walau mungkin untuk sebagian besar masyarakat nilai-nilainya dianggap bertentangan.
Dapat kita simpulkan bahwa citi-ciri terpenting daripada Ilmu Modern ialah kekuatan disiplin, cara berpikir dan penyelidikannya yang menuju pengetahuan positif dan teliti

5.    Kebudayaan Bhinneka Tunggal Ika
Setelah kita mengikuti sejarah kebudayaan Indonesia dengan perurutan keempat kebudayaan yang berbeda-beda konfigurasinya, dapatlah kita sekarang memahami kesatuan kebudayaan indonesia dengan bermacam-macam penjelmaannya yang biasanya kita sebut Bineka Tunggal Ika.
Sebagai semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika mengandung makna yang penting karena pengertian atau makna yang terkandung dalam seloka tersebut itulah kiranya yang menuntun pemahaman bangsa Indonesia bahwa walaupun kita memiliki keanekaragaman dalam banyak hal akan tetapi tetap satu jua adanya.
Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman sejarah, adat istiadat, bahasa serta kebudayaan sendiri-sendiri. Keanekaragaman tersebut tidak menjadi penghalang, bahkan dianggap sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Hal itu diwujudkan di dalam semboyan nasional Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” seperti yang terdapat pada lambang negara Indonesia. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika tersebut berasal dari bahasa Sanskrit yang terdapat dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular pada zaman Majapahit.
Semenjak masa-masa permulaan kemerdekaan bangsa Indonesia semboyan tersebut senantiasa digunakan sebagai semboyan nasional digunakan untuk mendorong semangat persatuan bangsa. Semboyan tersebut memesankan keanekaragaman Indonesia yang senantiasa dipelihara dan dipandang sebagai asset nasional Indonesia.
Menurut perkiraan para ahli, bangsa Indonesia terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa atau golongan etnik (Depdikbud, 1984;149). Sebagai contoh dapat disebut sukubangsa Aceh, Gayo, Batak, Minagkabau, dan Melayu di Sumatera; Suku Bangsa Jawa dan Sunda di Jawa; Suku Bangsa Banjar dan Dayak di Kalimantan; Suku Bangsa Bugis, Mandar, Toraja, Makasar, Buton dan Minahasa di Sulawesi; Suku Bangsa Ambon, dan Kei di Maluku; Suku Bangsa Irian di Papua; Suku Bangsa Timor, Flores, dan Sumba di Nusa Tenggara Timur, Suku Bangsa Sasak dan Bima di Nusa Tenggara Barat serta Suku Bangsa Bali di Bali.
Perkembangan sejarah dan kesatuannya dengan lingkungan alam yang didiami selama berabad-abad memberikan cirri khusus pada kebudayaan Suku Bangsa tersebut. Karena itulah setiap Suku Bangsa memiliki ciri tersendiri yang berbeda-beda dengan suku yang lainnya, contoh nyata adalah bahasa, tiap daerah di Indonesia memiliki bahasa yang berbeda-beda.
Namun demikian bahasa Melayu (Melayu kuno) sudah digunakan sebagai bahasa pengantar di Nusantara sejak abad ke-13. Hal itulah yang mempermudah bangsa Indonesia menyepakati menetapkan bahasa Indonesia melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928 untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, untuk lengkapnya beberapa pengelompokan bahasa dapat dikemukakan sebagai berikut :


·      Kelompok Sumatera
·      Kelompok Kalimantan
·      Kelompok Jawa
·      Kelompok Bali-Sasak
·      Kelompok Gorontalo
·      Kelompok Tomini
·      Kelompok Toraja
·      Kelompok Loinang
·      Kelompok Banggai
·      Kelompok Bungku-Laki
·      Kelompok Sulawesi Selatan
·      Kelompok Muna-Butung
·      Kelompok Bima-Sumba
·      Kelompok Ambon-Timor
·      Kelompok Sula-Bacaan
·      Kelompok Halmahera Selatan dan Teluk Cendrawasih Papua
·      Kelompok Halmahera Utara
·      Bahasa-bahasa Papua Tengah dan Selatan
·      Bahasa-bahasa Papua pantai utara
·      Kelompok Sulawesi Utara
·      Melanesia (Bahasa Janefa, Sarmi, dan lain-lain).


(Depdikbud,1984;h. 158-160)
Dalam kehidupan kemasyarakatan, dapat dilihat bahwa aspek yang menonjol adalah desa, kekerabatan dan kehidupan gotong royong. Hal-hal yang baik seperti yang sudah dilakukan secara turun temurun dan sangat bermanfaat itu haruslah dilestarikan dan dikembangkan secara terus menerus. Kesatuan hidup territorial yang disebut desa itu terdapat hampir diseluruh Indonesia dengan nama yang berbeda, sebagai contoh misalnya adalah benua di Nias, gamponng di Aceh, kuta di Karo, Nagari di Sumatera Barat, desa di Jawa, yang kesemuanya itu dikepalai oleh seorang kepala desa atau Lurah.






BAB III
PENUTUP
A.       KESIMPULAN
Kebudayaan dapat dipahami sebagai suatu sistem ide/gagasan yang dimiliki suatu masyarakat lewat proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial bagi masyarakat tersebut (Koentjaraningrat, 1996). Sedangkan sistem budaya sendiri dapat dikatakan sebagai seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang diacu untuk menata, menilai, dan menginterpretasikan benda dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupannya. Nilai-nilai yang menjadi salah satu unsur sistem budaya, merupakan konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai dalam hidup, yang kemudian menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam suatu masyarakat.
Bertitik tolak dari pemahaman tersebut, konsep kebudayaan Indonesia dibangun oleh para pendahulu kita. Konsep kebudayaan Indonesia disini mengacu kepada nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang kemudian dianggap sebagai nilai luhur, sebagai acuan pembangunan Indonesia. Nilai-nilai itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif. Nilai-nilai itu ada dalam sistem budaya etnik yang ada di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, sebagaimana sifat/ciri khas kebudayaan suatu bangsa Indonesia (Melalatoa, 1997: 102). Konsep kebudayaan Indonesia ini kemudian diikat dalam satu konsep persatuan dan kesatuan bangsa yaitu konsep Bhineka Tunggal Ika.
Dalam proses pencarian berarti bahwa kebudayaan Indonesia itu senantiasa berusaha mewujudkan suatu kondisi yang diharapkan dari satu bentuk kehidupan bersama; yaitu dengan memupuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah satu potensi kekuatan dari bangsa yang besar, yang untuk itu sangat diperlukan kerjasama, semangat kebersamaan, rasa toleransi, emphati yang tinggi yang senantiasa mengacu pada substansi tiga orientasi waktu : masa lalu, masa kini, dan masa depan.

B.       SARAN
Diharapkan kepada para pembaca yang akan lebih mendalami tentang Perkembangan Sosial Budaya Indonesia dapat mengambil Referensi yang lain sehingga dapat membandingkan dengan Referensi yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA






TEORI KOMUNIKASI VERBAL DAN NONVERBAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan suatu kebutuhan naluriah yang ada pada semua makhluk hidup, bahkan hewan juga melakukan proses komunikasi diantara sesamanya. Dr.Everett Kleinjan menyatakan bahwa komunikasi adalah bagian kekal dari kehidupan manusia seperrti halnya bernafas, sepanjang manusia hidup maka ia perlu berkomunikasi.23 Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan hasratnya kepada orang lain merupakan awal ketrampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui lambang-lambang isyarat (nonverbal) dan kemudian disusul dengan kemampuan untuk memberi arti pada setiap lambang-lambang itu dalam bentuk bahasa verbal. Dari pengalaman sehari-hari, kita dapat melihat bahwa komunikasi itu lebih dari sekedar berbentuk surat, laporan, telegram, pembicaraan di telpon, dan wawancara. Komunikasi merupakan sebuah aksi dimana manusia berbicara, mendengarkan, melihat, merasa, dan memberi reaksi satu sama lain terhadap pengalaman-pengalaman dan lingkungan dimana mereka berada.
Bila seseorang berbicara, menulis, mendengarkan, atau menunjukkan isyarat kepada orang lain, maka akan ada aksi dan reaksi yang terus-menerus di antara keduanya. Kita tidak hanya menafsirkan kata-kata yang kita dengar; kita juga mendengarkan dan memberikan makna pada karakter suara, menafsirkan ekspresi wajah orangnya, pikiran-pikiran yang tercermin dari caranya menatapkan wajah, jari-jemarinya yang digerak-gerakkan ketika berbicara, dan tumit kakinya yang diketuk-ketukkan ke lantai sebagai tanda bahwa ia sedang gugup. Hal-hal lainnya yang bisa ditambahkan di sini adalah stimulus internal yang ada pada diri kita sendiri, seperti emosi, perasaan, pengalaman, minat, dan faktor-faktor pendukung lainnya yang membuat kita mempersepsikan aksi-aksi dan tindakan-tindakan orang lain dengan cara yang spesifik.

B. Perumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Komunikasi NonVerbal ?
2.      Apa saja teori yang terdapat dalam teori Komunikasi Nonverbal ?
3.      Apa yang dimaksud dengan Komunikasi Verbal ?
4.      Teori apa saja yang ada dalam Komunikasi Verbal?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
C.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengertian dan Teori-teori apa saja yang terdapat dalam Komunikasi Verbal dan NonVerbal.
C.2 Manfaat Penelitian
1.    Bagi penulis makalah ini diharakan dapat berguna untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengajar mata kuliah teori komunikasi.
2.    Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah informasi dan pengetahuan bagi penulis dan pihak lain yang berkepentingan










BAB II
PEMBAHASAN

2.1     TEORI-TEORI KOMUNIKASI NONVERBAL
2.1.1.  Pengertian Komunikasi NonVerbal
Secara sederhana komunikasi nonverbal dapat didefinisikan sebagai berikut: non berarti tidak, verbal bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Menurut Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebssut dengan vocal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan mulut dan verbal communication yaitu tindakan komunikasi yang menggunakan kata-kata.
Dengan demikian definisi kerja dari komunikasi nonverbal adalah pesan lisan dan bukan lisan yang dinyatakan melalui alat lain di luar alat kebahasaan (oral and nonoral messages expressed by other than linguistic means).
Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditermukan pada zaman Aristoteles (400-600 SM). Namun studi ilmiahnya yang berkaitan dengan retorika, baru dilakukan pada zaman Yunani dan Romawi Kuno. Dalam perkembangan berikutnya dikenal tokoh-tokoh seperti:
           Cicero dengan karyanya PRONUNTIATIO atau cara berpidato dengan memanfaatkan elemen-elemen nonverbal (public speaking);
           Joshua Steele dengan studi ttg komunikasi nonverbal pada suara sebagai suatu instrument yang disebut PROSODY (bahasa dalam drama atau puisi dapat dibaca hampir seperti notasi musik);
           Gilbert Austin dengan studi tentang gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa, yang disebut sebagai ELOCUTIONARY SYSTEM (seni deklamasi).
           Francois Delserte yang menggabungkan suara dan gerakan2 badan sekaligus yang merupakan agents of heart.


2.1.2.  Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Nonverbal
1. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)
Menurut Darwin, komunikasi nonverbal dari makhluk hidup yang berbeda sebenarnya adalah sama. Orang-orang yang mendukung pandangan Darwin, seperti Morris, Ekman dan Friesen percaya bahwa ekspresi nonverbal pada budaya manapun esensinya sama, karena komunikasi nonverbal tidak dipelajari, ia adalah bagian alami dari keberadaan manusia, misalnya senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan pada kultur manapun juga. Teori ini mendukung asumsi dasar Darwin bahwa komunikasi nonverbal bersifat universal dan memiliki kesamaan dalam berbagai kultur yang berbeda. Dengan demikian komunikasi nonverbal merupakan suatu fungsi alamiah. Sebagai tambahan, dikemukakan pula bahwa ekspresi emosi melalui komunikasi nonverbal adalah sama antara manusia dan hewan lainnya

v     Teori Struktur Kumulatif
Dalam teorinya ini, Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada makna yang diasosiasikan dengan kinesic, teori mereka disebut “cumulative structure” atau “meaning centered” karena lebih banyak membahas mengenai makna yang berkaitan dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur prilaku, Mereka beranggapan bahwa seluruh komunikasi nonverbal merefleksikan dua hal : apakah suatu tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan verbal. Hal ini dapat dicontohkan pada kasus ketika seseorang yang sedang menceritakan sesuatu dan gerak tangannya yang menunjukkan tinggi serta ekspresi wajah yang gembira. Gerak tangan yang menunjukkan tinggi ini tidak akan memiliki arti tanpa disertai ungkapan verbal, jadi tindakan ini disengaja dan memiliki makna tertentu. Lain halnya dengan ekspresi wajah yang gembira, yang dapat berdiri sendiri dan dapat diartikan tanpa bantuan pesan verbal. Meskipun demikian, kedua tindakan tersebut telah menambahkan kepada makna yang berkaitan dengan interaksi antara kedua orang tersebut, dan ini oleh Ekman dan Friesen disebut sebagai “expressive behaviour”. . Dalam teori ini Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada makna yang diasosiasikan dengan kinesic yang disebut cumulative structure atau meaning centered karena lebih banyak membahas makna yang berkaitan dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku yang kemudian disebut sebagai expressive behaviour yang terdiri dari lima kategori:
ü      Emblem adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai sama dengan pesan verbal, yang disengaja, dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya adalah setuju, pujian, atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan lambaian tanagan, anggukan kepala, atau acungan jempol.
ü      Ilustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang serius ketika memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan adalah persoalan yang serius atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dibicarakan
ü      Regulator adalah tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan dalam percakapan, misalnya mengenai giliran berbicara. Bentuk-bentuk lain dari regulator dalam percakapan misalnya senyuman, anggukan kepala, tangan yang menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang kesemuanya berperan dalam mengatur arus informasi dalam suatu situasi percakapan.
ü      Adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk menyesuaikan tubuh dan menciptakan keamanan bagi tubuh dan emosi. Terdapat dua sub kategori dari adaptor yaitu: self (seperti menggaruk kepala, menyentuh dagu atau hidung), dan object (menggigit pensil, memainkan kunci). Perilaku ini biasanya dipandang sebgai refleksi kecemasan atau prilaku negatif.
ü      Kategori kelima adalah penggambaran emosi atau affect display yang dapat disengaja ataupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri. Menurut Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk affect display yang pengungkapannya cukup universal, yaitu: marah, menghina, malu, takut, gembira, sedih dan terkejut. Mereka mengemukakan pula bahwa affect display yang berbeda dapat diungkapkan secara bersamaan, dan bentuk seperti ini disebut affect blend.

v     Teori Tindakan (Action Theory)
Morris juga mengemukakan suatu pandangan mengenai kinesic yang lebih didasarkan pada tindakan. Dia mengasumsikan bahwa prilaku tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi kedalam suatu rangkaian panjang peristiwa yang terpisah-pisah. Menurutnya terdapat lima kategori yang berbeda dalam tindakannya itu: pembawaan (inborn), ditemukan (discovered), diserap (absorbed), dilatih (trained), dan campuran (mixed). Inborn merupakan instink yang dimiliki sejak lahir, seperti prilaku menyusu. Discovered diperoleh secara sadar dan terbatas pada struktur genetik tubuh, seperti menyilangkan kaki. Absorbed diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan orang lain (biasanya teman), seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang. Trained diperoleh dengan belajar, seperti berjalan, mengetik dan sebagainya. Sedangkan mixed actions diperoleh melalui berbagai macam cara yang mencakup keempat hal diatas.

2. Pendekatan Antropologi (Anthropological Approach)
Pendekatan antropologis menganggap komunikasi nonverbal terpengaruh oleh kultur atau masyarakat, dan pendekatan ini diwakili oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall.

v     Analogi linguistik Dalam teorinya ini Birdwhistell mengasumsikan bahwa komunikasi nonverbal memiliki struktur yang sama dengan komunikasi verbal. Bahasa distrukturkan atas bunyi dan kombinasi bunyi yang membentuk apa yang kita sebut kata. Kombinasi kata dalam suatu konteks akan membentuk kalimat, dan berikutnya kombinasi kalimat akan membentuk paragraf. Birdwhistell mengemukakan bahwa hal yang sama terjadi dalam konteks nonverbal, yaitu terdapat bunyi nonverbal yang disebut allokines (satuan gerakan tubuh terkecil yang sering kali tidak dapat dideteksi). Kombinasi allokines akan membentuk kines dalam suatu bentuk yang serupa dengan bahasa verbal, yang dalam teori ini disebut sebagai analogi linguistik. Teori ini mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut:
1) Terdapat tingkat saling ketergantungan yang tinggi antara kelima indera manusia, yang bersama-sama dengan ungkapan verbal akan membentuk “infracommunicational system”
2) Komunikasi kinesik berbeda antarkultur dan bahkan antar mikrokultur.
3) Tidak ada simbol bahasa tubuh yang universal.
4) Prinsip-prinsip pengulangan (redundancy) tidak terdapat pada prilaku kinesik.
5) Prilaku kinesik lebih primitif dan kurang terkendali dibanding komunikasi verbal.
6) Kita harus membandingkan tanda-tanda nonverbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan interpretasi yang akurat.

Keenam prinsip yang mendasari analogi linguistik ini pada dasarnya menyatakan bahwa kelima indera kita berinteraksi atau bekerja sama untuk menciptakan persepsi dan dalam setiap situasi, satu atau lebih indera kita akan mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell, prilaku kinesik bersifat unik bagi setiap kultur atau subkultur di mana individu berada. Oleh karenanya, kultur harus diperhitungkan dalam studi tentang komunikasi nonverbal.
Prinsip ketiga menegaskan kembali bahwa prilaku nonverbal lebih banyak diperoleh sebagai hasil belajar daripada faktor genetik yang diturunkan antara generasi. Dia juga menganggap bahwa komunikasi nonverbal lebih bersifat melengkapi komunikasi verbal daripada mengulang atau menggantikannya, yaitu keduanya bekerja secara bersama-sama dalam menghasilkan makna. Dan akhirnya, karena komunikasi nonverbal tidak selalu dilakukan secara sadar dan lebih bersifat primitif, kita cenderung untuk melupakan apa yang kita katakan secara nonverbal. Selanjutnya Birdwhistell menjelaskan bahwa fenomena parakinesik (yaitu kombinasi gerakan yang dihubungkan dengan komunikasi verbal) dapat dipelajari melalui struktur gerakan. Struktur ini mencakup tiga faktor yaitu: intensitas dari tegangan yang tampak dari otot, durasi dari gerakan yang tampak dan luasnya gerakan. Dari faktor-faktor ini kita dapat menganalisis berbagai klasifikasi gerakan/prilaku yang meliputi allokine, kine, kineme (pengelompokkan kine yang artinya menyerupai suatu “kata” dalam bahasa), dan kinemorpheme (yang menyerupai kalimat dalam konteks bahasa). Jadi kita dapat menganalisis komunikasi nonverbal seperti jika kita melakukannya pada komunikasi verbal, namun kita mengganti unit analisisnya dari “bunyi dan kata” menjadi “gerak dan gerakan”.

v     Analogi Kultural
Analogi Kultural yang dikemukakan oleh Edward T.Hall membahas komunikasi nonverbal dari aspek proksemik dan kronemik. Teori Hall mengenai proksemik mengacu kepada penggunaan ruang sebagai ekspresi spesifik dari kultur. Teori Hall mencakup batasan-batasan mengenai ruang yang disebutnya sebagai lingkungan (artifactual), teritorial, dan personal. Lebih lanjut, Hall mengemukakan adanya tiga jenis ruang masing-masing dengan norma dan ekspektasi yang berbeda yaitu: informal space, ruang terdekat yang mengitari kita (personal space); fixed-feature space, yaitu benda dilingkungan kita yang relatif sulit bergerak atau dipindahkan seperti rumah, tembok dan sebagainya; dan semifixed-feature space, yaitu barang-barang yang dapat dipindahkan yang berada dalam fixed-feature space.
Salah satu aspek terpenting dari teori Hall adalah kajiannya mengenai preferensi dalam personal space. Menurutnya preferensi ruang seseorang ditentukan oleh delapan faktor yang saling terkait yang ditemukan dalam tiap kultur. Yang pertama adalah jenis kelamin dan posisi dari orang yang saling berinteraksi, yaitu laki-laki dan perempuan, dan apakah mereka duduk, berdiri, dan sebagainya. Kedua, sudut pandangan atau angle yang terbentuk oleh bahu, dada/ punggung dari orang yang berkomunikasi (faktor sociofugal-sociopetal axis). Ketiga, posisi badan ketika berkomunikasi yang berada dalam jarak sentuhan (faktor kinesthetic). Keempat, sentuhan dan jenis sentuhan (faktor zero-proxemic). Kelima, frekuensi dan cara-cara kontak mata (faktor visual code). Keenam, persepsi tentang panas tubuh yang dapat dirasakan ketika berinteraksi (faktor thermal code). Ketujuh, odor atau bau yang tercium ketika berinteraksi (faktor olfactory code). Delapan, kerasnya atau volume suara dalam berinteraksi (faktor voice loudness).
Dalam analisisnya mengenai waktu atau chronemics sebagai salah satu tanda nonverbal, Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu ditemukan dalam berbagai kultur dalam bentuk yang berbeda-beda. Waktu memiliki apa yang disebut dengan formal time, informal time, dan technical time. Formal time mencakup susunan dan siklus, memiliki nilai, memiliki durasi dan kedalaman. Informal time biasanya didefinisikan secara lebih longgar dalam kultur, dan bekerja pada tataran psikologis atau sosiologis, serta diungkapkan melalui individu atau kelompok. Penggunaanya dapat berupa ungkapan ‘sebentar lagi’, ‘nanti’, atau ‘sekarang’. Sedangkan technical time menggambarkan penggunaan waktu secara lebih spesifik, seperti ‘kilometer per jam’, ‘tahun matahari’, atau ‘meter per detik’.

3. Pendekatan Fungsional (Functional Approach)
Pendekatan fungsional memandang komunikasi nonverbal sebagai bertujuan dan dibatasi oleh suatu kerangka waktu tertentu. Ini berbeda dari pendekatan ethologis dimana komunikasi nonverbal dipandang sebagai suatu proses evolusi yang berkesinambungan dari spesies yang lebih rendah sampai kepada manusia. Ini juga berbeda dari pendekatan antropologis dimana fungsi tertentu dapat terjadi dalam setiap kultur. Dalam teori fungsional, norma-norma kultural dianggap sebagai sesuatu yang telah ada (given) dan diperhitungkan dalam kerangka waktu sebagai ‘variasi kultural’. Persoalan yang muncul dengan pendekatan fungsional adalah bahwa teori-teorinya mengemukakan sejumlah fungsi berbeda, beberapa diantaranya menunjukkan kesamaan sementara sejumlah lainnya berbeda.

v     Teori Metaforis dari Mehrabian
Teori Mehrabian menempatkan prilaku nonverbal kedalam pengelompokkan fungsi. Dia memandang komunikasi nonverbal berada diantara tiga kontinum, yaitu: dominant-submisif, menyenangkan-tidak menyenangkan, dan menggairahkan-tidak menggairahkan. Perilaku nonverbal dapat ditempatkan pada setiap kontinum dan dianalisis melalui tiga metafora yang berkaitan dengan kekuasaan-status, kesukaan, dan tingkat responsif. Metafora kekuasaan-status mencerminkan tingkatan dimana prilaku nonverbal mengkomunikasikan dominasi atau submisi. Metafora kesukaan didasarkan pada kontinum menyenangkan-tidak menyenangkan, sedangkan metafora responsif didasarkan pada kontinum menggairahkan-tidak menggairahkan. Hampir setiap pesan nonverbal dapat dianalisis oleh setiap fungsinya dan diinterpretasikan dari satu atau kombinasi fungsi-fungsi tersebut. Misalnya senyuman dapat mengindikasikan adanya kesenangan, kegairahan dan kesukaan. Teori Mehrabian dapat diterapkan pada semua komunikasi nonverbal, meskipun paling sesuai untuk diterapkan pada penandaan kinesik, paralanguage, sentuhan, dan jarak/ruang.

v     Teori Equilibrium
Michael Argyle dan Lanet Dean mengemukakan suatu teori komunikasi nonverbal yang didasarkan pada suatu metafora keintiman-equilibrium. Mereka mengemukakan bahwa seluruh interaksi dibatasi dalam konflik antara kekuatan-kekuatan penarik dan penolak. Kekuatan yang menarik dan mendorong satu orang dengan orang lainnya cenderung untuk menyeimbangkan suatu hubungan. Kekuatan tersebut dijumpai dalam prilaku nonverbal yang berkaitan dengan pendekatan (jarak yang lebih dekat, kontak mata yang lebih banyak, sentuhan dan gerakan tubuh yang lebih sering), dan penghindaran ( jarak yang lebih jauh, kurangnya kontak mata, dan jarangnya sentuhan dan gerakan tubuh). Lebih lanjut Argyle dan Dean mengemukakan bahwa ketika kita berinteraksi kita mengalami atau menggunakan seluruh saluran komunikasi yang ada dan suatu perubahan dalam satu saluran nonverbal akan menghasilkan perubahan pada saluran lainnya sebagai kompensasi.

v     Teori Fungsional dari Patterson
Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal memilik lima fungsi yaitu: memberikan informasi, mengekspresikan keintiman, mengatur interaksi, melaksanakan kontrol sosial, dan membantu pencapaian tujuan. Memberikan informasi antara lain membiarkan seseorang mengerti tentang perasaan kita. Mengekspresikan keintiman dapat dilakukan melalui sentuhan. Pengaturan interaksi antara lain mengatur giliran berbicara dalam percakapan. Melaksanakan kontrol sosial digunakan ketika kita mengekspresikan pandangan. Membantu pencapaian tujuan biasanya bersifat impersonal, misalnya sentuhan yang terjadi ketika seorang penata rambut sedang menata rambut kita.

v     Teori Fungsional Komunikatif
Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan kepada ‘kegunaan, motif, atau hasil dari komunikasi’. Teori ini menjelaskan peran yang dimiliki komunikasi nonverbal terhadap hasil komunikasi seperti persuasi dan desepsi (pengelabuan). Dengan demikian teori ini telah mengalihkan perhatian dari suatu pemahaman mengenai bagaimana cara kerja komunikasi nonverbal, kepada apa yang dilakukan komunikasi nonverbal. Burgoon mengemukakan sedikitnya terdapat sembilan fungsi dari komunikasi emosional sampai pemrosesan informasi dan pemahaman. Teori ini memandang suatu inisiatif untuk berinteraksi sebagai sifat multifungsional dan sebagai suatu bagian penting dari proses komunikasi. Jadi, fokusnya bukan sekedar pada apa yang ditampilkan oleh prilaku nonverbal tetapi juga pada hubungan antara prilaku tersebut dengan tujuan-tujuan yang ada dibaliknya.










2.2     TEORI-TEORI KOMUNIKASI VERBAL
2.2.1 Pengertian Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan kata-kata (verbs), baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian sebenarnya definisi komunikasi verbal ini sama dengan kebanyakan definisi dari komunikasi itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh para ahli.

2.2.2 Teori-Teori Komunikasi Verbal
Berikut adalah Teori-Teori Komunikasi Verbal
1. Pendekatan Natural (Nature Approach)
Noam Chomsky mengemukakan melalui Teori Struktur Dalam (deep structure) bahwa suatu tata bahasa atau struktur bawaan (imate grammar) yang ada pada diri manusia sejak dia lahir merupakan landasan bagi semua bahasa. Teori ini mencakup suatu pendekatan umum yang universal. Dengan mendasarkan pada sejumlah besar penelitiannya, Chomsky mengidentifikasi adanya tiga struktur dalam semua bahasa.
Pertama, adanya hubungan antara subjek-predikat. Apapun subjeknya predikat akan selalu menunjukkan tindakan apa yang dilakukan oleh subjek. Demikian pula sebaliknya apapun predikatnya, subjek akan selalu menunjukkan apa atau siapa yang melakukan tindakan tersebut. Misalnya, ‘orang makan’, ‘gajah makan’, kesemuanya menunjukan bahwa subjek sedang melakukan tindakan tertentu, yaitu makan. Sementara dari visi predikat ‘orang lari’, ‘orang bermain’, ‘orang makan’, menunjukkan bahwa ‘orang’ yang melakukan tindakan, apapun bentuknya.
Kedua, hubungan antara kata kerja (verb) dengan objek yang mengekspresikan hubungan logis sebab dan akibat. Hubungan ini menunjukkan kepada siapa atau untuk apa suatu tindakan dilakukan. Misalnya, ‘orang memakai topi’, ‘orang memakai jas’, ‘orang memakai kaos’, kesemuanya menunjukkan bahwa objek (apapun jenisnya) dipakai oleh orang tersebut.
Ketiga, modifikasi, yang menunjukkan adanya pertautan kelas (intersection of classes). Misalnya, ‘orang memakai topi hitam’, ‘orang memakai topi kuning’, ‘orang memaki topi putih’, dimana kesemuanya menunjuk adanya pertautan (intersection) antara topi dan warna tertentu.
Dengan demikian, Chomsky beranggapan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa kemampuan alamiah untuk berbahasa. Kita dapat memformulasikan bentuk-bentuk komunikasi kata tertentu hingga terasa masuk akal. Namun penjelasan bahwa bahasa dapat dipilah dalam struktur tata bahasa belum dapat menjawab bagaimana bahasa mengungkapkan makna. Seorang teoritisi lain, Dan I. Slobin mengemukakan bahwa daripada terlahir dengan pemahaman tata bahasa yang telah terprogram, anak sebenarnya telah memiliki suatu mekanisme pemrosesan atau sistem untuk mengorganisasikan informasi linguistik yang diperoleh dari lingkungan anak tersebut.
Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendahului perkembangan bahasa. Dengan berbagai bukti ilmiah dia menunjukkan bahwa anak dari kelompok bahasa yang berbeda, mempelajari bahasa secara berbeda tergantung pada tingkatan kesulitan dari bahasa tersebut. Bahasa yang lebih kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya, karena anak harus membuat sejumlah pengecualian pada prinsip bawaan yang ada dalam setiap bahasa. Slobin sendiri mengidentifikasi adanya empat prinsip yang bekerja pada semua bahasa, yaitu: memperhatikan susunan kata, menghindari pengecualian, menghindari interupsi atau penataan kembali unit-unit bahasa, dan memperhatikan kata yang ada pada bagian terakhir kalimat. Walau ada perbedaan antara teori Chomsky dan Slobin, namun pada dasarnya keduanya mendasarkan diri pada prinsip natural, yang memandang bahwa bahasa diperoleh secara natural. Meskipun demikian keduanya belum dapat menjawab makna apa yang dikaitkan dengan penggunaan bahasa tersebut.

2. Pendekatan Nurtural (Nurture Approach)
Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan teori yang menentang perspektif alamiah (nature). Dengan memusatkan kajiannya pada semantik (makna dari kata), mereka mengembangkan suatu teori kultural mengenai bahasa. Mereka mengatakan bahwa latar belakang dari sistem linguistik atau tata bahasa dari setiap bahasa bukan hanya suatu alat reproduksi untuk menyampaikan gagasan, tetapi lebih sebagai pembentuk gagasan, pembentuk dan pemandu bagi aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan, untuk mensitesiskan aktivitas mental dalam komunikasi. Formulasi gagasan bukan merupakan suatu proses independen dan bukan aktivitas rasional semata tetapi, suatu tata bahasa tertentu yang berbeda diantara berbagai tata bahasa lain.
Jadi, bahasa adalah kultural seperti pandangan Birdwhistell mengenai komunikasi nonverbal. Bahkan aturan-aturan bahasa sangat bervariasi dari satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari kultur berbeda akan berbeda pula caranya dalam memandang dunia. Misalnya beberapa bahasa memiliki begitu banyak istilah untuk menyebut ‘salju’ sementara sejumlah bahasa lainnya bahkan tidak memiliki satu istilahpun, terutama bagi yang belum pernah melihatnya. Menurut Sapir dan Whorf bahasa dari suatu kultur akan berkaitan langsung dengan bagaimana cara-cara kita berpikir dalm kultur tersebut. Asumsi ini sejalan dengan pandangan antropologis tentang relativitas kultural, yang menyatakan bahwa karena kultur yang berbeda memiliki bahasa berbeda dan pandangan hidup berbeda, maka mereka juga memiliki keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda pula. Kedua teori yang berlawanan ini menunjukkan bahwa baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal, terdapat dua aliran yang berangkat dari posisi yang berlawanan dalam menjelaskan bagaimana orang memperoleh bahasa. Kontroversi ini masih terus berluang tanpa salah satu dapat mengklaim bahwa teorinya yang paling benar, karena bukti-bukti yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak belum cukup memadai.

3. Teori Fungsional tentang Bahasa (General Semantics)
Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi prilaku, aliran general semantics menganggap bahwa bahasa harus dapat merefleksikan dunia dimana kita hidup. Asumsi yang mendasari pemikiran general semantic adalah bahwa ‘the word is not the thing’.
Kata dianggap sebagai abstraksi dari realitas. Oleh karenanya general semantics memandang bahwa kata harus sedekat mungkin dengan realitas yang direfleksikannya. Meskipun demikian mereka menyadari bahwa ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata merupakan suatu konsep yang statis dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita harus mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya.

a.      Penggunaan symbol
Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh prilaku manusia berangkat dari penggunaan simbol. Salah seorang ahlinya yang bernama Alfred Korzybski menganggap adanya ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa sehari-hari kita. Argumentasinya adalah bahwa manusia hidup dalam dua lingkungan yang berbeda, lingkungan fisik dan lingkungan simbolik. Untuk memahami hal tersebut kita dapat menganalogikannya dengan penggunaan peta. Misalnya kita bertanya kepada teman kita berapa jarak antara Jakarta-Surabaya, dan dia menjawab: “menurut peta sekitar 10 cm”. Informasi ini hanya memiliki arti bagi kita bila kita mengetahui skala dari peta tersebut dan tentunya skala peta tersebut bukanlah 1:1 karena jika demikian maka jarak yang disebut tadi adalah jarak yang sebenarnya.
Hal serupa berlaku pula pada kata. Kata, pada kenyataanya semua jenis simbol tidak sama dengan fenomena yang digambarkannya. Menurut Odgen dan Richards simbol adalah representasi ide, dan ide adalah representasi objek. Dan ketiganya merupakan fenomena yang berbeda.
Persoalan menjadi menarik ketika kita berbuat seolah-olah kata adalah objek yang digambarkannya. Misalnya saja orang yang langsung lari ketakutan hanya karena mendengar kata “ular” meskipun ia belum melihat ular itu sendiri. Interaksi antara kata, maknanya dan prilaku manusia inilah yang menjadi perhatian Korzybski ketika dia mengemukakan teori general semantics. Untuk mempelajari teori ini kita akan membahas sejumlah konstruk: silent assumptions, reaksi dan respons, penggunaan identitas, waktu dan ruang, multiordanalitas, orientasi intensional dan ekstensional, dan tataran-tataran abstraksi.

v     Silent assumptions
General semantics menjelakan bahwa kita memiliki kecenderungan untuk berurusan dengan objek atau benda pada tataran abstrak. Misalnya kita tidak berurusan dengan fenomena pada tataran anatomis, meskipun sebenarnya fenomena berubah pada tataran ini. Seperti yang telah dikatakan oleh Korzybski bahwa tataran objektif bukan kata dan tidak dapat dicapai hanya dengan kata. Untuk dapat mencapai atau memahami tataran objektif, general semantic mengajarkan kita untuk diam (silent), dan kondisi diam ini memungkinkan kita untuk merespons kata sebagai manusia daripada bereaksi terhadapnya sebagaimana yang dilakukan oleh hewan.
Persoalan yang muncul dalam silent assumptions ini adalah ketika mengantisipasi apa yang dikatakan orang lain. Oleh karenanya ketika kita melakukan silent assumptions kita harus menanyakan pada diri kita sendiri tiga pertanyaan tentang apa yang sedang dikatakan orang lain, yaitu: apa yang dimaksudkannya?, bagaimana dia mengetahui hal yang dibicarakannya?, dan mengapa dia mengatakan hal ini kepada saya?

v     Reaksi/respons
Konstruk ini diawali oleh asumsi bahwa manusia bereaksi seperti yang dilakukan hewan melalui apa yang disebut dengan respons yang dikondisikan. Orang dapat dengan mudah dipaksa untuk bereaksi pada slogan, nama, hasrat, dan sebagainya. Misalnya saja reaksi pengikut Hitler pada Swastika dan lambang-lambang lainnya. Korzybski menekankan bahwa kita seharusnya tidak meniru binatang. Respons kita haruslah kondisional bukan dikondisikan. Artinya, respons kita harus melalui penundaan (delayed) dan modifikasi, bukan otomatis. Untuk itu, kita perlu menghindari reaksi yang baku atau stereotip terhadap kelas atau kelompok orang tertentu dan menyadari adanya perbedaan-perbedaan di antara individu anggota kelompok atau kelas dan menyesuaikan respons kita.

v     Identitas.
Ada tiga alasan mengapa kita cenderung bereaksi daripada merespons suatu pesan, yaitu: nama adalah suatu karakteristik penting dari benda atau objek, keunikan benda atau objek berada di dalam nama, dan jika suatu benda atau objek tidak memiliki nama maka ia menjadi tidak eksis atau tidak dianggap.
Jadi, terdapat orang-orang yang beranggapan bahwa semua ‘perceraian’ memiliki makna yang sama atau semua pengertian ‘demonstrasi’ adalah sama, padahal dalam situasi yang nyaris sama orang atau hal-hal lainnya akan selalu berbeda. Konstruk tentang identitas berkaitan dengan konstruk lain dalam teori general semantics, yaitu nonallness dan nonaddivity.
Nonallness berarti bahwa kita tidak dapat mengatakan segala sesuatunya secara lengkap mengenai semua hal. Oleh karenanya ketika melihat ada kesamaan dalam beberapa hal kita cenderung untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan.
General semantics merekomendasikan kita untuk memberikan gambaran bahwa terdapat hal-hal lain yang tidak kita ketahui ketika mendeskripsikan sesuatu pada saat berbicara.
Konstruk nonaddivity dapat dilakukan ketika menambahkan sesuatu dan hasilnya memiliki arti lain. Misalnya, ketika guru berkata kepada guru lainnya: bisakah anda menerima seorang murid lagi untuk kelas anda?”. Karena tidak ada dua hal yang sama persis, menerima seorang murid yang sekedar duduk di kelas adalah berbeda dengan menerima seorang murid yang sangat partisipatif di dalam kelas. Oleh karenanya menambahkan sesuatu tidak hanya sekedar menghasilkan hal yang sama dalam jumlah yang lebih besar, seperti yang dikondisikan oleh kata atau bunyi, melainkan menghasilkan suatu prilaku komunikatif yang berbeda.

v     Keterikatan pada waktu dan ruang
General semantics mengemukakan bahwa segala sesuatu di dalam lingkungan fisik akan terus menerus berubah. Hal ini bahkan juga berlaku pada benda mati dimana terjadi perubahan molekul. Fenomena ini disebut ‘keterikatan waktu’ (time binding). Selain itu juga terjadi ‘keterikatan ruang’ (space binding) karena orang berada dalam tempat atau ruang berbeda, mereka akan mempersepsikan sesuatu secara berbeda-beda. Dua aspek dalam dimensi ruang adalah jarak dan posisi relatif. Seperti halnya waktu, ruang adalah fenomena yang pasif dan penyebab perubahan (catalytic). Benda, objek atau hal harus berada di dalam suatu ruang, harus memiliki jarak (baik dekat atupun jauh dari benda), objek atau hal lainnya, dan meskipun memiliki jarak yang sama mereka harus menempati posisi yang berbeda. Dimensi ruang mencakup tataran fisik (persepsi dan jarak). Tataran psikologis (perasaan, keadaan, dan sebagainya), dan tataran kultural (norma, nilai).
v     Multiordinalitas
Multiordinalitas menjelaskan pernyataan yang bertingkat-tingkat. Misalnya kata ‘cinta’. Kita dapat mencintai suatu bangunan, seorang gadis, sebuah lukisan, sebuah teori, sebuah pertarungan sengit.
Namun semua ‘cinta’ ini berada pada tataran abstraksi yang sama, tetapi cinta juga dapat bergerak ke tataran yang lain. Jadi, kita dapat mencinta ‘kecintaan’ kita terhadap seorang gadis, dan sebagainya. Ini adalah cinta pada tataran kedua, yang berbeda dari cinta pada tataran pertama karena melibatkan proses psikoneurologis yang berbeda. Konstruk ini menjelaskan bagaimana orientasi orang ketika merespons suatu hal. Ivring J. Lee mengemukakan bahwa orientasi intensional didasarkan pada definisi verbal, asosiasi, dan sebagainya yang mengabaikan observasi. Karakteristik orang seperti ini adalah lebih memperhatikan nama dan apa yang dikatakan mengenai suatu hal daripada kenyataan, orang merespon kata atau pernyataan sebagaimana orang merespons objek yang digambarkan oleh kata tersebut, orang tidak merasa yakin dengan kenyataan yang dihadapinya, dan orang menggunakan pembuktian verbal daripada fakta yang nyata. Sebaliknya, orientasi ekstensional didasarkan pada susunan observasi, investigasi dan sebaginya terlebih dahulu sebelum meresponsnya. General semantic lebih mendukung orientasi ekstensional yang artinya merekomendasikan seseorang mencari faktanya terlebih dahulu.

4. Konstruktivisme: Perspektif Pesan dalam Bahasa
Teori ini dikemukakan oleh Jesse G. Delia dan Ruth Anne Clark yang menaruh perhatian pada proses berpikir yang terjadi sebelum pesan dikemukakan dalam suatu tindak komunikasi. Proses berpikir ini disebut kognisi sosial.
Beberapa prinsip penting dalam teori mereka adalah Konstruksi episodik dan disposisi oleh skemata interpersonalnya. Skemata - skemata interpersonal ini adalah kognisi atau pemikiran mengenai bagaimana kita berpikir mengenai apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Skemata - skemata interpersonal ini diorganisasi kedalam sistem yang mencakup interpretasi dan penyimpulan serta pola-pola ‘konstruksi’ yang kita gunakan untuk menjelaskan perilaku orang lain.
Prinsip kedua adalah, organisasi kesan interpersonal memberikan pemahaman dan antisipasi atas orang lain secara kontekstual dan relevan. Dalam hal ini orang bertindak seolah-olah sebagai psikolog sosial yang menggunakan suatu pola konsepsional untuk menjelaskan, memahami, dan memperkirakan perilaku orang lain di dalam berbagai konteks.
Prinsip ketiga adalah, variasi sistematis dalam konstruk dan skemata interpersonal yang berkembang sebagai suatu fungsi pengalaman sosial, memberikan perbedaan kapasitas untuk membentuk kesan-kesan yang terorganisasikan dan stabil dalam waktu dan konteks berbeda.
Maksudnya, orang yang memiliki lebih banyak pilihan dalam menilai orang lain cenderung lebih mampu memformulasikan pandangan yang terorganisasi mengenai orang lain. Delia dan Clark telah mengemukakan bahwa bahasa digunakan untuk menilai apa yang akan dirasakan oleh orang lain terhadap suatu pesan yang disampaikan kepadanya sebelum pesan itu sendiri belum sepenuhnya disusun. Oleh karenanya, individu dengan kecakapan bahasa yang baik akan mampu menyusun pesan secara lebih tepat dan jelas kepada berbagai jenis orang dalam berbagai situasi spesifik.














BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

v       Komunikasi adalah hubungan antara manusia baik individu maupun kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak disadari dalam kehidupan manusia itu sendiri, paling tidak sejak ia dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannya gerak dan tangis yang pertama pada saat ia dilahirkan adalah tanda komunikasi (Widjaja, 1986: 65)
v       Secara garis besar komunikasi dapat dibagi  yaitu komunikasi verbal dan non verbal (Mulyana, 2002: 6) sebagai berikut :
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah semua jenis simbol atau pesan yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. bahasa dapat didefinisikan seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.
2. Komunikasi NonVerbal
Komunikasi Non Verbal adalah Komunikasi yang menggunakan pesan-pesan non verbal. Istilah non verbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Komunikasi non verbal informasi disampaikan dengan menggunakan isyarat (gestures), gerak gerik (movement). (Mulyana, 2002: 6).
v       Secara teoritis komunikasi verbal dan non verbal dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya kedua jenis komunikasi ini saling menjalin satu sama lain dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari.
v       Ada Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Nonverbal, yaitu
1.    Pendekatan Etologi (Ethological Approach), yang terbagi menjadi Teori Struktur Kumulatif dan Teori Tindakan (Action Theory).
2.    Pendekatan Antropologi (Anthropological Approach), yaitu Analogi linguistic dan  Analogi Kultural.
3.    Pendekatan Fungsional (Functional Approach), yang terdiri dari Teori Metaforis dari Mehrabian, Teori Equilibrium, Teori Fungsional dari Patterson, dan Teori Fungsional Komunikatif
v       Teori-Teori Komunikasi Verbal terbagi menjadi 4, yaitu:
       1. Pendekatan Natural (Nature Approach)
       2. Pendekatan Nurtural (Nurture Approach)
       3. Teori Fungsional tentang Bahasa (General Semantics)
       4 . Konstruktivisme: Perspektif Pesan dalam Bahasa


DAFTAR PUSTAKA


Kleinjan dalam Hafid Canggara, Pengantar Ilmu Komunikasi