BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu kebutuhan
naluriah yang ada pada semua makhluk hidup, bahkan hewan juga melakukan proses
komunikasi diantara sesamanya. Dr.Everett Kleinjan menyatakan bahwa komunikasi
adalah bagian kekal dari kehidupan manusia seperrti halnya bernafas, sepanjang
manusia hidup maka ia perlu berkomunikasi.23 Sifat
manusia untuk menyampaikan keinginannya dan hasratnya kepada orang lain
merupakan awal ketrampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui lambang-lambang
isyarat (nonverbal) dan kemudian disusul dengan kemampuan untuk memberi arti
pada setiap lambang-lambang itu dalam bentuk bahasa verbal. Dari pengalaman
sehari-hari, kita dapat melihat bahwa komunikasi itu lebih dari sekedar
berbentuk surat,
laporan, telegram, pembicaraan di telpon, dan wawancara. Komunikasi merupakan
sebuah aksi dimana manusia berbicara, mendengarkan, melihat, merasa, dan
memberi reaksi satu sama lain terhadap pengalaman-pengalaman dan lingkungan
dimana mereka berada.
Bila seseorang berbicara, menulis,
mendengarkan, atau menunjukkan isyarat kepada orang lain, maka akan ada aksi
dan reaksi yang terus-menerus di antara keduanya. Kita tidak hanya menafsirkan
kata-kata yang kita dengar; kita juga mendengarkan dan memberikan makna pada
karakter suara, menafsirkan ekspresi wajah orangnya, pikiran-pikiran yang tercermin
dari caranya menatapkan wajah, jari-jemarinya yang digerak-gerakkan ketika
berbicara, dan tumit kakinya yang diketuk-ketukkan ke lantai sebagai tanda
bahwa ia sedang gugup. Hal-hal lainnya yang bisa ditambahkan di sini adalah
stimulus internal yang ada pada diri kita sendiri, seperti emosi, perasaan,
pengalaman, minat, dan faktor-faktor pendukung lainnya yang membuat kita
mempersepsikan aksi-aksi dan tindakan-tindakan orang lain dengan cara yang
spesifik.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Komunikasi NonVerbal
?
2. Apa saja teori yang terdapat dalam teori
Komunikasi Nonverbal ?
3. Apa yang dimaksud dengan Komunikasi Verbal ?
4. Teori apa saja yang ada dalam Komunikasi Verbal?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
C.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengertian
dan Teori-teori apa saja yang terdapat dalam Komunikasi Verbal dan NonVerbal.
C.2 Manfaat
Penelitian
1. Bagi
penulis makalah ini diharakan dapat berguna untuk memenuhi tugas yang diberikan
oleh dosen pengajar mata kuliah teori komunikasi.
2.
Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah informasi
dan pengetahuan bagi penulis dan pihak
lain yang berkepentingan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 TEORI-TEORI
KOMUNIKASI NONVERBAL
2.1.1. Pengertian Komunikasi NonVerbal
Secara sederhana komunikasi nonverbal
dapat didefinisikan sebagai berikut: non berarti tidak, verbal
bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai
sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Menurut
Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication,
batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa
yang disebssut dengan vocal communication yaitu tindak komunikasi yang
menggunakan mulut dan verbal communication yaitu tindakan komunikasi
yang menggunakan kata-kata.
Dengan demikian
definisi kerja dari komunikasi nonverbal adalah pesan lisan dan bukan lisan
yang dinyatakan melalui alat lain di luar alat kebahasaan (oral and nonoral
messages expressed by other than linguistic means).
Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditermukan pada
zaman Aristoteles (400-600 SM). Namun studi ilmiahnya yang berkaitan dengan
retorika, baru dilakukan pada zaman Yunani dan Romawi Kuno. Dalam perkembangan
berikutnya dikenal tokoh-tokoh seperti:
•
Cicero dengan
karyanya PRONUNTIATIO atau cara berpidato dengan memanfaatkan elemen-elemen
nonverbal (public speaking);
•
Joshua Steele dengan studi ttg komunikasi
nonverbal pada suara sebagai suatu instrument yang disebut PROSODY (bahasa
dalam drama atau puisi dapat dibaca hampir seperti notasi musik);
•
Gilbert Austin dengan studi tentang
gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa, yang disebut sebagai
ELOCUTIONARY SYSTEM (seni deklamasi).
•
Francois Delserte yang menggabungkan suara dan
gerakan2 badan sekaligus yang merupakan agents of heart.
2.1.2. Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi
Nonverbal
1. Pendekatan Etologi (Ethological
Approach)
Menurut
Darwin, komunikasi nonverbal dari makhluk hidup yang berbeda sebenarnya adalah
sama. Orang-orang yang mendukung pandangan Darwin, seperti Morris, Ekman dan Friesen
percaya bahwa ekspresi nonverbal pada budaya manapun esensinya sama, karena
komunikasi nonverbal tidak dipelajari, ia adalah bagian alami dari keberadaan
manusia, misalnya senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan pada kultur
manapun juga. Teori ini mendukung asumsi dasar Darwin bahwa komunikasi
nonverbal bersifat universal dan memiliki kesamaan dalam berbagai kultur yang
berbeda. Dengan demikian komunikasi nonverbal merupakan suatu fungsi alamiah.
Sebagai tambahan, dikemukakan pula bahwa ekspresi emosi melalui komunikasi
nonverbal adalah sama antara manusia dan hewan lainnya
v
Teori Struktur Kumulatif
Dalam teorinya
ini, Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada makna yang diasosiasikan
dengan kinesic, teori mereka disebut “cumulative structure” atau “meaning
centered” karena lebih banyak membahas mengenai makna yang berkaitan dengan
gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur prilaku, Mereka beranggapan
bahwa seluruh komunikasi nonverbal merefleksikan dua hal : apakah suatu
tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan verbal. Hal
ini dapat dicontohkan pada kasus ketika seseorang yang sedang menceritakan
sesuatu dan gerak tangannya yang menunjukkan tinggi serta ekspresi wajah yang gembira. Gerak tangan yang
menunjukkan tinggi ini tidak akan memiliki arti tanpa disertai ungkapan verbal,
jadi tindakan ini disengaja dan memiliki makna tertentu. Lain halnya dengan
ekspresi wajah yang gembira, yang dapat berdiri sendiri dan dapat diartikan
tanpa bantuan pesan verbal. Meskipun demikian, kedua tindakan tersebut telah
menambahkan kepada makna yang berkaitan dengan interaksi antara kedua orang tersebut,
dan ini oleh Ekman dan Friesen disebut sebagai “expressive behaviour”. .
Dalam teori ini Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada makna yang
diasosiasikan dengan kinesic yang disebut cumulative structure atau meaning
centered karena lebih banyak membahas makna yang berkaitan dengan gerak tubuh
dan ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku yang kemudian disebut sebagai expressive behaviour yang terdiri dari
lima kategori:
ü Emblem adalah
gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai sama dengan pesan verbal,
yang disengaja, dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya
adalah setuju, pujian, atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan
lambaian tanagan, anggukan kepala, atau acungan jempol.
ü
Ilustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang
mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang serius ketika
memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan adalah persoalan
yang serius atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang
dibicarakan
ü
Regulator adalah tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan
dalam percakapan, misalnya mengenai giliran berbicara. Bentuk-bentuk lain dari
regulator dalam percakapan misalnya senyuman, anggukan kepala, tangan yang
menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang kesemuanya
berperan dalam mengatur arus informasi dalam suatu situasi percakapan.
ü
Adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk
menyesuaikan tubuh dan menciptakan keamanan bagi tubuh dan emosi. Terdapat dua
sub kategori dari adaptor yaitu: self (seperti menggaruk kepala,
menyentuh dagu atau hidung), dan object (menggigit pensil, memainkan
kunci). Perilaku ini biasanya dipandang sebgai refleksi kecemasan atau prilaku
negatif.
ü
Kategori kelima
adalah penggambaran emosi atau affect display yang dapat disengaja
ataupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri. Menurut
Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk affect display yang
pengungkapannya cukup universal, yaitu: marah, menghina, malu, takut, gembira,
sedih dan terkejut. Mereka mengemukakan pula bahwa affect display yang
berbeda dapat diungkapkan secara bersamaan, dan bentuk seperti ini disebut affect
blend.
v Teori Tindakan (Action Theory)
Morris juga mengemukakan suatu pandangan mengenai kinesic
yang lebih didasarkan pada tindakan. Dia mengasumsikan bahwa prilaku tidak
terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi kedalam suatu rangkaian panjang
peristiwa yang terpisah-pisah. Menurutnya terdapat lima kategori yang berbeda dalam tindakannya
itu: pembawaan (inborn), ditemukan (discovered), diserap (absorbed),
dilatih (trained), dan campuran (mixed). Inborn merupakan
instink yang dimiliki sejak lahir, seperti prilaku menyusu. Discovered diperoleh
secara sadar dan terbatas pada struktur genetik tubuh, seperti menyilangkan
kaki. Absorbed diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan
orang lain (biasanya teman), seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang. Trained
diperoleh dengan belajar, seperti berjalan, mengetik dan sebagainya.
Sedangkan mixed actions diperoleh melalui berbagai macam cara yang
mencakup keempat hal diatas.
2.
Pendekatan Antropologi (Anthropological Approach)
Pendekatan antropologis menganggap komunikasi
nonverbal terpengaruh oleh kultur atau masyarakat, dan pendekatan ini diwakili
oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall.
v Analogi linguistik Dalam
teorinya ini Birdwhistell mengasumsikan bahwa komunikasi nonverbal memiliki
struktur yang sama dengan komunikasi verbal. Bahasa distrukturkan atas bunyi
dan kombinasi bunyi yang membentuk apa yang kita sebut kata. Kombinasi kata
dalam suatu konteks akan membentuk kalimat, dan berikutnya kombinasi kalimat
akan membentuk paragraf. Birdwhistell mengemukakan bahwa hal yang sama terjadi dalam
konteks nonverbal, yaitu terdapat bunyi nonverbal yang disebut allokines (satuan
gerakan tubuh terkecil yang sering kali tidak dapat dideteksi). Kombinasi allokines
akan membentuk kines dalam suatu bentuk yang serupa dengan bahasa
verbal, yang dalam teori ini disebut sebagai analogi linguistik. Teori ini
mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut:
1) Terdapat tingkat saling
ketergantungan yang tinggi antara kelima indera manusia, yang bersama-sama
dengan ungkapan verbal akan membentuk “infracommunicational system”
2) Komunikasi kinesik berbeda
antarkultur dan bahkan antar mikrokultur.
3) Tidak ada simbol bahasa
tubuh yang universal.
4) Prinsip-prinsip pengulangan
(redundancy) tidak terdapat pada prilaku kinesik.
5) Prilaku kinesik lebih
primitif dan kurang terkendali dibanding komunikasi verbal.
6) Kita harus membandingkan
tanda-tanda nonverbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan
interpretasi yang akurat.
Keenam prinsip yang mendasari analogi linguistik ini
pada dasarnya menyatakan bahwa kelima indera kita berinteraksi atau bekerja
sama untuk menciptakan persepsi dan dalam setiap situasi, satu atau lebih
indera kita akan mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell, prilaku
kinesik bersifat unik bagi setiap kultur atau subkultur di mana individu
berada. Oleh karenanya, kultur harus diperhitungkan dalam studi tentang
komunikasi nonverbal.
Prinsip ketiga menegaskan kembali bahwa prilaku
nonverbal lebih banyak diperoleh sebagai hasil belajar daripada faktor genetik yang
diturunkan antara generasi. Dia juga menganggap bahwa komunikasi nonverbal
lebih bersifat melengkapi komunikasi verbal daripada mengulang atau
menggantikannya, yaitu keduanya bekerja secara bersama-sama dalam menghasilkan
makna. Dan akhirnya, karena komunikasi nonverbal tidak selalu dilakukan secara
sadar dan lebih bersifat primitif, kita cenderung untuk melupakan apa yang kita
katakan secara nonverbal. Selanjutnya Birdwhistell menjelaskan bahwa fenomena
parakinesik (yaitu kombinasi gerakan yang dihubungkan dengan komunikasi verbal)
dapat dipelajari melalui struktur gerakan. Struktur ini mencakup tiga faktor
yaitu: intensitas dari tegangan yang tampak dari otot, durasi dari gerakan yang
tampak dan luasnya gerakan. Dari faktor-faktor ini kita dapat menganalisis
berbagai klasifikasi gerakan/prilaku yang meliputi allokine, kine, kineme (pengelompokkan
kine yang artinya menyerupai suatu “kata” dalam bahasa), dan kinemorpheme
(yang menyerupai kalimat dalam konteks bahasa). Jadi kita dapat
menganalisis komunikasi nonverbal seperti jika kita melakukannya pada
komunikasi verbal, namun kita mengganti unit analisisnya dari “bunyi dan kata”
menjadi “gerak dan gerakan”.
v Analogi Kultural
Analogi Kultural yang dikemukakan oleh Edward T.Hall
membahas komunikasi nonverbal dari aspek proksemik dan kronemik. Teori Hall
mengenai proksemik mengacu kepada penggunaan ruang sebagai ekspresi spesifik
dari kultur. Teori Hall mencakup batasan-batasan mengenai ruang yang disebutnya
sebagai lingkungan (artifactual), teritorial, dan personal. Lebih
lanjut, Hall mengemukakan adanya tiga jenis ruang masing-masing dengan norma
dan ekspektasi yang berbeda yaitu: informal space, ruang terdekat yang
mengitari kita (personal space); fixed-feature space, yaitu benda
dilingkungan kita yang relatif sulit bergerak atau dipindahkan seperti rumah,
tembok dan sebagainya; dan semifixed-feature space, yaitu barang-barang
yang dapat dipindahkan yang berada dalam fixed-feature space.
Salah satu aspek terpenting dari teori Hall adalah
kajiannya mengenai preferensi dalam personal space. Menurutnya
preferensi ruang seseorang ditentukan oleh delapan faktor yang saling terkait
yang ditemukan dalam tiap kultur. Yang pertama adalah jenis kelamin dan posisi
dari orang yang saling berinteraksi, yaitu laki-laki dan perempuan, dan apakah
mereka duduk, berdiri, dan sebagainya. Kedua, sudut pandangan atau angle yang
terbentuk oleh bahu, dada/ punggung dari orang yang berkomunikasi (faktor sociofugal-sociopetal
axis). Ketiga, posisi badan ketika berkomunikasi yang berada dalam jarak
sentuhan (faktor kinesthetic). Keempat, sentuhan dan jenis sentuhan
(faktor zero-proxemic). Kelima, frekuensi dan cara-cara kontak mata
(faktor visual code). Keenam, persepsi tentang panas tubuh yang dapat
dirasakan ketika berinteraksi (faktor thermal code). Ketujuh, odor atau
bau yang tercium ketika berinteraksi (faktor olfactory code). Delapan,
kerasnya atau volume suara dalam berinteraksi (faktor voice loudness).
Dalam analisisnya mengenai waktu atau chronemics sebagai
salah satu tanda nonverbal, Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu ditemukan
dalam berbagai kultur dalam bentuk yang berbeda-beda. Waktu memiliki apa yang
disebut dengan formal time, informal time, dan technical time. Formal time mencakup
susunan dan siklus, memiliki nilai, memiliki durasi dan kedalaman. Informal
time biasanya didefinisikan secara lebih longgar dalam kultur, dan bekerja
pada tataran psikologis atau sosiologis, serta diungkapkan melalui individu
atau kelompok. Penggunaanya dapat berupa ungkapan ‘sebentar lagi’, ‘nanti’,
atau ‘sekarang’. Sedangkan technical time menggambarkan penggunaan waktu
secara lebih spesifik, seperti ‘kilometer per jam’, ‘tahun matahari’, atau
‘meter per detik’.
3.
Pendekatan Fungsional (Functional Approach)
Pendekatan fungsional memandang komunikasi nonverbal
sebagai bertujuan dan dibatasi oleh suatu kerangka waktu tertentu. Ini berbeda
dari pendekatan ethologis dimana komunikasi nonverbal dipandang sebagai suatu
proses evolusi yang berkesinambungan dari spesies yang lebih rendah sampai
kepada manusia. Ini juga berbeda dari pendekatan antropologis dimana fungsi
tertentu dapat terjadi dalam setiap kultur. Dalam teori fungsional, norma-norma
kultural dianggap sebagai sesuatu yang telah ada (given) dan
diperhitungkan dalam kerangka waktu sebagai ‘variasi kultural’. Persoalan yang
muncul dengan pendekatan fungsional adalah bahwa teori-teorinya mengemukakan
sejumlah fungsi berbeda, beberapa diantaranya menunjukkan kesamaan sementara
sejumlah lainnya berbeda.
v Teori Metaforis dari Mehrabian
Teori Mehrabian menempatkan prilaku nonverbal kedalam
pengelompokkan fungsi. Dia memandang komunikasi nonverbal berada diantara tiga
kontinum, yaitu: dominant-submisif, menyenangkan-tidak menyenangkan, dan
menggairahkan-tidak menggairahkan. Perilaku nonverbal dapat ditempatkan pada
setiap kontinum dan dianalisis melalui tiga metafora yang berkaitan dengan
kekuasaan-status, kesukaan, dan tingkat responsif. Metafora kekuasaan-status
mencerminkan tingkatan dimana prilaku nonverbal mengkomunikasikan dominasi atau
submisi. Metafora kesukaan didasarkan pada kontinum menyenangkan-tidak
menyenangkan, sedangkan metafora responsif didasarkan pada kontinum
menggairahkan-tidak menggairahkan. Hampir setiap pesan nonverbal dapat
dianalisis oleh setiap fungsinya dan diinterpretasikan dari satu atau kombinasi
fungsi-fungsi tersebut. Misalnya senyuman dapat mengindikasikan adanya
kesenangan, kegairahan dan kesukaan. Teori Mehrabian dapat diterapkan pada
semua komunikasi nonverbal, meskipun paling sesuai untuk diterapkan pada
penandaan kinesik, paralanguage, sentuhan, dan jarak/ruang.
v Teori Equilibrium
Michael Argyle dan Lanet Dean mengemukakan suatu teori
komunikasi nonverbal yang didasarkan pada suatu metafora keintiman-equilibrium.
Mereka mengemukakan bahwa seluruh interaksi dibatasi dalam konflik antara
kekuatan-kekuatan penarik dan penolak. Kekuatan yang menarik dan mendorong satu
orang dengan orang lainnya cenderung untuk menyeimbangkan suatu hubungan.
Kekuatan tersebut dijumpai dalam prilaku nonverbal yang berkaitan dengan
pendekatan (jarak yang lebih dekat, kontak mata yang lebih banyak, sentuhan dan
gerakan tubuh yang lebih sering), dan penghindaran ( jarak yang lebih jauh,
kurangnya kontak mata, dan jarangnya sentuhan dan gerakan tubuh). Lebih lanjut
Argyle dan Dean mengemukakan bahwa ketika kita berinteraksi kita mengalami atau
menggunakan seluruh saluran komunikasi yang ada dan suatu perubahan dalam satu
saluran nonverbal akan menghasilkan perubahan pada saluran lainnya sebagai
kompensasi.
v Teori Fungsional dari Patterson
Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal
memilik lima
fungsi yaitu: memberikan informasi, mengekspresikan keintiman, mengatur
interaksi, melaksanakan kontrol sosial, dan membantu pencapaian tujuan.
Memberikan informasi antara lain membiarkan seseorang mengerti tentang perasaan
kita. Mengekspresikan keintiman dapat dilakukan melalui sentuhan. Pengaturan
interaksi antara lain mengatur giliran berbicara dalam percakapan. Melaksanakan
kontrol sosial digunakan ketika kita mengekspresikan pandangan. Membantu
pencapaian tujuan biasanya bersifat impersonal, misalnya sentuhan yang terjadi
ketika seorang penata rambut sedang menata rambut kita.
v Teori Fungsional Komunikatif
Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan
kepada ‘kegunaan, motif, atau hasil dari komunikasi’. Teori ini menjelaskan
peran yang dimiliki komunikasi nonverbal terhadap hasil komunikasi seperti
persuasi dan desepsi (pengelabuan). Dengan demikian teori ini telah mengalihkan
perhatian dari suatu pemahaman mengenai bagaimana cara kerja komunikasi
nonverbal, kepada apa yang dilakukan komunikasi nonverbal. Burgoon
mengemukakan sedikitnya terdapat sembilan fungsi dari komunikasi
emosional sampai pemrosesan informasi dan pemahaman. Teori ini memandang suatu
inisiatif untuk berinteraksi sebagai sifat multifungsional dan sebagai suatu
bagian penting dari proses komunikasi. Jadi, fokusnya bukan sekedar pada apa
yang ditampilkan oleh prilaku nonverbal tetapi juga pada hubungan antara
prilaku tersebut dengan tujuan-tujuan yang ada dibaliknya.
2.2 TEORI-TEORI
KOMUNIKASI VERBAL
2.2.1 Pengertian Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi
dengan menggunakan kata-kata (verbs), baik lisan maupun tulisan. Dengan
demikian sebenarnya definisi komunikasi verbal ini sama dengan kebanyakan
definisi dari komunikasi itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh para ahli.
2.2.2 Teori-Teori Komunikasi Verbal
Berikut
adalah Teori-Teori Komunikasi Verbal
1. Pendekatan Natural (Nature Approach)
Noam
Chomsky mengemukakan melalui Teori Struktur Dalam (deep structure) bahwa
suatu tata bahasa atau struktur bawaan (imate grammar) yang ada pada
diri manusia sejak dia lahir merupakan landasan bagi semua bahasa. Teori ini
mencakup suatu pendekatan umum yang universal. Dengan mendasarkan pada sejumlah
besar penelitiannya, Chomsky mengidentifikasi adanya tiga struktur dalam semua
bahasa.
Pertama,
adanya hubungan antara subjek-predikat. Apapun subjeknya predikat akan
selalu menunjukkan tindakan apa yang dilakukan oleh subjek. Demikian pula
sebaliknya apapun predikatnya, subjek akan selalu menunjukkan apa atau siapa
yang melakukan tindakan tersebut. Misalnya, ‘orang makan’, ‘gajah makan’,
kesemuanya menunjukan bahwa subjek sedang melakukan tindakan tertentu, yaitu
makan. Sementara dari visi predikat ‘orang lari’, ‘orang bermain’, ‘orang makan’, menunjukkan bahwa ‘orang’
yang melakukan tindakan, apapun bentuknya.
Kedua, hubungan
antara kata kerja (verb) dengan objek yang mengekspresikan hubungan
logis sebab dan akibat. Hubungan ini menunjukkan kepada siapa atau untuk apa
suatu tindakan dilakukan. Misalnya, ‘orang memakai topi’, ‘orang memakai jas’,
‘orang memakai kaos’, kesemuanya menunjukkan bahwa objek (apapun jenisnya)
dipakai oleh orang tersebut.
Ketiga, modifikasi,
yang menunjukkan adanya pertautan kelas (intersection of classes).
Misalnya, ‘orang memakai topi hitam’, ‘orang memakai topi kuning’, ‘orang
memaki topi putih’, dimana kesemuanya menunjuk adanya pertautan (intersection)
antara topi dan warna tertentu.
Dengan demikian, Chomsky beranggapan bahwa manusia
dilahirkan dengan membawa kemampuan alamiah untuk berbahasa. Kita dapat
memformulasikan bentuk-bentuk komunikasi kata tertentu hingga terasa masuk
akal. Namun penjelasan bahwa bahasa dapat dipilah dalam struktur tata bahasa
belum dapat menjawab bagaimana bahasa mengungkapkan makna. Seorang teoritisi
lain, Dan I. Slobin mengemukakan bahwa daripada terlahir dengan pemahaman tata
bahasa yang telah terprogram, anak sebenarnya telah memiliki suatu mekanisme
pemrosesan atau sistem untuk mengorganisasikan informasi linguistik yang
diperoleh dari lingkungan anak tersebut.
Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif
mendahului perkembangan bahasa. Dengan berbagai bukti ilmiah dia menunjukkan
bahwa anak dari kelompok bahasa yang berbeda, mempelajari bahasa secara berbeda
tergantung pada tingkatan kesulitan dari bahasa tersebut. Bahasa yang lebih
kompleks membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya, karena anak
harus membuat sejumlah pengecualian pada prinsip bawaan yang ada dalam setiap bahasa.
Slobin sendiri mengidentifikasi adanya empat prinsip yang bekerja pada semua
bahasa, yaitu: memperhatikan susunan kata, menghindari pengecualian,
menghindari interupsi atau penataan kembali unit-unit bahasa, dan memperhatikan
kata yang ada pada bagian terakhir kalimat. Walau ada perbedaan antara teori
Chomsky dan Slobin, namun pada dasarnya keduanya mendasarkan diri pada prinsip
natural, yang memandang bahwa bahasa diperoleh secara natural. Meskipun
demikian keduanya belum dapat menjawab makna apa yang dikaitkan dengan
penggunaan bahasa tersebut.
2.
Pendekatan Nurtural (Nurture Approach)
Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan teori
yang menentang perspektif alamiah (nature). Dengan memusatkan kajiannya
pada semantik (makna dari kata), mereka mengembangkan suatu teori kultural
mengenai bahasa. Mereka mengatakan bahwa latar belakang dari sistem linguistik
atau tata bahasa dari setiap bahasa bukan hanya suatu alat reproduksi untuk
menyampaikan gagasan, tetapi lebih sebagai pembentuk gagasan, pembentuk dan
pemandu bagi aktivitas mental individu, untuk menganalisis kesan, untuk
mensitesiskan aktivitas mental dalam komunikasi. Formulasi gagasan bukan
merupakan suatu proses independen dan bukan aktivitas rasional semata tetapi,
suatu tata bahasa tertentu yang berbeda diantara berbagai tata bahasa lain.
Jadi, bahasa adalah kultural seperti pandangan
Birdwhistell mengenai komunikasi nonverbal. Bahkan aturan-aturan bahasa sangat
bervariasi dari satu kultur ke kultur lain, oleh karenanya individu dari kultur
berbeda akan berbeda pula caranya dalam memandang dunia. Misalnya beberapa
bahasa memiliki begitu banyak istilah untuk menyebut ‘salju’ sementara sejumlah
bahasa lainnya bahkan tidak memiliki satu istilahpun, terutama bagi yang belum
pernah melihatnya. Menurut Sapir dan Whorf bahasa dari suatu kultur akan
berkaitan langsung dengan bagaimana cara-cara kita berpikir dalm kultur
tersebut. Asumsi ini sejalan dengan pandangan antropologis tentang relativitas
kultural, yang menyatakan bahwa karena kultur yang berbeda memiliki bahasa
berbeda dan pandangan hidup berbeda, maka mereka juga memiliki keyakinan dan
nilai-nilai yang berbeda pula. Kedua teori yang berlawanan ini menunjukkan
bahwa baik dalam komunikasi verbal maupun nonverbal, terdapat dua aliran yang berangkat
dari posisi yang berlawanan dalam menjelaskan bagaimana orang memperoleh
bahasa. Kontroversi ini masih terus berluang tanpa salah satu dapat mengklaim
bahwa teorinya yang paling benar, karena bukti-bukti yang ditunjukkan oleh
kedua belah pihak belum cukup memadai.
3. Teori
Fungsional tentang Bahasa (General Semantics)
Hanya dengan memfokuskan pada makna dari kata dan
bagaimana makna tersebut mempengaruhi prilaku, aliran general semantics menganggap
bahwa bahasa harus dapat merefleksikan dunia dimana kita hidup. Asumsi yang
mendasari pemikiran general semantic adalah bahwa ‘the word is not
the thing’.
Kata dianggap sebagai abstraksi dari realitas. Oleh
karenanya general semantics memandang bahwa kata harus sedekat mungkin
dengan realitas yang direfleksikannya. Meskipun demikian mereka menyadari bahwa
ini suatu hal yang sulit, karena ketika kata merupakan suatu konsep yang statis
dalam waktu yang panjang, realitas selalu dalam kondisi yang berubah. Untuk
memahami apa yang menjadi kajian general semantics, kita harus
mempelajari sifat-sifat simbol dan bagaimana kita menggunakannya.
a.
Penggunaan
symbol
Pandangan ini mengasumsikan bahwa seluruh prilaku
manusia berangkat dari penggunaan simbol. Salah seorang ahlinya yang bernama
Alfred Korzybski menganggap adanya ketidaktepatan dalam penggunaan bahasa
sehari-hari kita. Argumentasinya adalah bahwa manusia hidup dalam dua
lingkungan yang berbeda, lingkungan fisik dan lingkungan simbolik. Untuk
memahami hal tersebut kita dapat menganalogikannya dengan penggunaan peta.
Misalnya kita bertanya kepada teman kita berapa jarak antara Jakarta-Surabaya,
dan dia menjawab: “menurut peta sekitar 10 cm”. Informasi ini hanya memiliki
arti bagi kita bila kita mengetahui skala dari peta tersebut dan tentunya skala
peta tersebut bukanlah 1:1 karena jika demikian maka jarak yang disebut tadi
adalah jarak yang sebenarnya.
Hal serupa berlaku pula pada kata. Kata, pada
kenyataanya semua jenis simbol tidak sama dengan fenomena yang digambarkannya.
Menurut Odgen dan Richards simbol adalah representasi ide, dan ide adalah
representasi objek. Dan ketiganya merupakan fenomena yang berbeda.
Persoalan menjadi menarik ketika kita berbuat
seolah-olah kata adalah objek yang digambarkannya. Misalnya saja orang yang
langsung lari ketakutan hanya karena mendengar kata “ular” meskipun ia belum
melihat ular itu sendiri. Interaksi antara kata, maknanya dan prilaku manusia
inilah yang menjadi perhatian Korzybski ketika dia mengemukakan teori general
semantics. Untuk mempelajari teori ini kita akan membahas sejumlah
konstruk: silent assumptions, reaksi dan respons, penggunaan identitas,
waktu dan ruang, multiordanalitas, orientasi intensional dan ekstensional, dan
tataran-tataran abstraksi.
v Silent assumptions
General semantics menjelakan
bahwa kita memiliki kecenderungan untuk berurusan dengan objek atau benda pada
tataran abstrak. Misalnya kita tidak berurusan dengan fenomena pada tataran
anatomis, meskipun sebenarnya fenomena berubah pada tataran ini. Seperti yang
telah dikatakan oleh Korzybski bahwa tataran objektif bukan kata dan tidak
dapat dicapai hanya dengan kata. Untuk dapat mencapai atau memahami tataran
objektif, general semantic mengajarkan kita untuk diam (silent), dan
kondisi diam ini memungkinkan kita untuk merespons kata sebagai manusia
daripada bereaksi terhadapnya sebagaimana yang dilakukan oleh hewan.
Persoalan yang muncul dalam silent assumptions ini
adalah ketika mengantisipasi apa yang dikatakan orang lain. Oleh karenanya
ketika kita melakukan silent assumptions kita harus menanyakan pada diri
kita sendiri tiga pertanyaan tentang apa yang sedang dikatakan orang lain,
yaitu: apa yang dimaksudkannya?, bagaimana dia mengetahui hal yang
dibicarakannya?, dan mengapa dia mengatakan hal ini kepada saya?
v Reaksi/respons
Konstruk ini diawali oleh asumsi bahwa
manusia bereaksi seperti yang dilakukan hewan melalui apa yang disebut dengan
respons yang dikondisikan. Orang dapat dengan mudah dipaksa untuk bereaksi pada
slogan, nama, hasrat, dan sebagainya. Misalnya saja reaksi pengikut Hitler pada
Swastika dan lambang-lambang lainnya. Korzybski menekankan bahwa kita
seharusnya tidak meniru binatang. Respons kita haruslah kondisional bukan
dikondisikan. Artinya, respons kita harus melalui penundaan (delayed) dan
modifikasi, bukan otomatis. Untuk itu, kita perlu menghindari reaksi yang baku atau stereotip
terhadap kelas atau kelompok orang tertentu dan menyadari adanya
perbedaan-perbedaan di antara individu anggota kelompok atau kelas dan
menyesuaikan respons kita.
v Identitas.
Ada tiga alasan mengapa kita cenderung bereaksi daripada
merespons suatu pesan, yaitu: nama adalah suatu karakteristik penting dari
benda atau objek, keunikan benda atau objek berada di dalam nama, dan jika
suatu benda atau objek tidak memiliki nama maka ia menjadi tidak eksis atau
tidak dianggap.
Jadi, terdapat orang-orang yang beranggapan bahwa semua
‘perceraian’ memiliki makna yang sama atau semua pengertian ‘demonstrasi’
adalah sama, padahal dalam situasi yang nyaris sama orang atau hal-hal lainnya
akan selalu berbeda. Konstruk tentang identitas berkaitan dengan konstruk lain
dalam teori general semantics, yaitu nonallness dan nonaddivity.
Nonallness berarti
bahwa kita tidak dapat mengatakan segala sesuatunya secara lengkap mengenai
semua hal. Oleh karenanya ketika melihat ada kesamaan dalam beberapa hal kita
cenderung untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan.
General semantics merekomendasikan
kita untuk memberikan gambaran bahwa terdapat hal-hal lain yang tidak kita
ketahui ketika mendeskripsikan sesuatu pada saat berbicara.
Konstruk nonaddivity dapat dilakukan ketika
menambahkan sesuatu dan hasilnya memiliki arti lain. Misalnya, ketika guru
berkata kepada guru lainnya: bisakah anda menerima seorang murid lagi untuk
kelas anda?”. Karena tidak ada dua hal yang sama persis, menerima seorang murid
yang sekedar duduk di kelas adalah berbeda dengan menerima seorang murid yang
sangat partisipatif di dalam kelas. Oleh karenanya menambahkan sesuatu tidak
hanya sekedar menghasilkan hal yang sama dalam jumlah yang lebih besar, seperti
yang dikondisikan oleh kata atau bunyi, melainkan menghasilkan suatu prilaku
komunikatif yang berbeda.
v Keterikatan pada waktu dan ruang
General semantics mengemukakan
bahwa segala sesuatu di dalam lingkungan fisik akan terus menerus berubah. Hal
ini bahkan juga berlaku pada benda mati dimana terjadi perubahan molekul.
Fenomena ini disebut ‘keterikatan waktu’ (time binding). Selain itu juga
terjadi ‘keterikatan ruang’ (space binding) karena orang berada dalam
tempat atau ruang berbeda, mereka akan mempersepsikan sesuatu secara
berbeda-beda. Dua aspek dalam dimensi ruang adalah jarak dan posisi relatif.
Seperti halnya waktu, ruang adalah fenomena yang pasif dan penyebab perubahan (catalytic).
Benda, objek atau hal harus berada di dalam suatu ruang, harus memiliki
jarak (baik dekat atupun jauh dari benda), objek atau hal lainnya, dan meskipun
memiliki jarak yang sama mereka harus menempati posisi yang berbeda. Dimensi
ruang mencakup tataran fisik (persepsi dan jarak). Tataran psikologis
(perasaan, keadaan, dan sebagainya), dan tataran kultural (norma, nilai).
v Multiordinalitas
Multiordinalitas menjelaskan pernyataan
yang bertingkat-tingkat. Misalnya kata ‘cinta’. Kita dapat mencintai suatu
bangunan, seorang gadis, sebuah lukisan, sebuah teori, sebuah pertarungan sengit.
Namun semua ‘cinta’ ini berada pada
tataran abstraksi yang sama, tetapi cinta juga dapat bergerak ke tataran yang
lain. Jadi, kita dapat mencinta ‘kecintaan’ kita terhadap seorang gadis, dan
sebagainya. Ini adalah cinta pada tataran kedua, yang berbeda dari cinta pada
tataran pertama karena melibatkan proses psikoneurologis yang berbeda. Konstruk
ini menjelaskan bagaimana orientasi orang ketika merespons suatu hal. Ivring J.
Lee mengemukakan bahwa orientasi intensional didasarkan pada definisi verbal,
asosiasi, dan sebagainya yang mengabaikan observasi. Karakteristik orang
seperti ini adalah lebih memperhatikan nama dan apa yang dikatakan mengenai
suatu hal daripada kenyataan, orang merespon kata atau pernyataan sebagaimana
orang merespons objek yang digambarkan oleh kata tersebut, orang tidak merasa
yakin dengan kenyataan yang dihadapinya, dan orang menggunakan pembuktian
verbal daripada fakta yang nyata. Sebaliknya, orientasi ekstensional didasarkan
pada susunan observasi, investigasi dan sebaginya terlebih dahulu sebelum
meresponsnya. General semantic lebih mendukung orientasi ekstensional
yang artinya merekomendasikan seseorang mencari faktanya terlebih dahulu.
4.
Konstruktivisme: Perspektif Pesan dalam Bahasa
Teori ini dikemukakan oleh Jesse G. Delia dan Ruth
Anne Clark yang menaruh perhatian pada proses berpikir yang terjadi sebelum
pesan dikemukakan dalam suatu tindak komunikasi. Proses berpikir ini disebut
kognisi sosial.
Beberapa prinsip penting dalam teori mereka adalah
Konstruksi episodik dan disposisi oleh skemata interpersonalnya. Skemata -
skemata interpersonal ini adalah kognisi atau pemikiran mengenai bagaimana kita
berpikir mengenai apa yang akan dilakukan oleh orang lain. Skemata - skemata
interpersonal ini diorganisasi kedalam sistem yang mencakup interpretasi dan
penyimpulan serta pola-pola ‘konstruksi’ yang kita gunakan untuk menjelaskan
perilaku orang lain.
Prinsip kedua adalah, organisasi kesan interpersonal
memberikan pemahaman dan antisipasi atas orang lain secara kontekstual dan
relevan. Dalam hal ini orang bertindak seolah-olah sebagai psikolog sosial yang
menggunakan suatu pola konsepsional untuk menjelaskan, memahami, dan
memperkirakan perilaku orang lain di dalam berbagai konteks.
Prinsip ketiga adalah, variasi sistematis dalam
konstruk dan skemata interpersonal yang berkembang sebagai suatu fungsi
pengalaman sosial, memberikan perbedaan kapasitas untuk membentuk kesan-kesan
yang terorganisasikan dan stabil dalam waktu dan konteks berbeda.
Maksudnya, orang yang memiliki lebih banyak pilihan
dalam menilai orang lain cenderung lebih mampu memformulasikan pandangan yang
terorganisasi mengenai orang lain. Delia dan Clark
telah mengemukakan bahwa bahasa digunakan untuk menilai apa yang akan dirasakan
oleh orang lain terhadap suatu pesan yang disampaikan kepadanya sebelum pesan
itu sendiri belum sepenuhnya disusun. Oleh karenanya, individu dengan kecakapan
bahasa yang baik akan mampu menyusun pesan secara lebih tepat dan jelas kepada
berbagai jenis orang dalam berbagai situasi spesifik.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
v
Komunikasi adalah
hubungan antara manusia baik individu maupun kelompok. Dalam kehidupan
sehari-hari disadari atau tidak disadari dalam kehidupan manusia itu sendiri,
paling tidak sejak ia dilahirkan sudah berkomunikasi dengan lingkungannya gerak
dan tangis yang pertama pada saat ia dilahirkan adalah tanda komunikasi
(Widjaja, 1986: 65)
v
Secara garis besar
komunikasi dapat dibagi yaitu komunikasi
verbal dan non verbal (Mulyana, 2002: 6) sebagai berikut :
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah semua jenis simbol atau
pesan yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut
bahasa. bahasa dapat didefinisikan seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas.
2. Komunikasi NonVerbal
Komunikasi Non Verbal adalah Komunikasi yang
menggunakan pesan-pesan non verbal. Istilah non verbal biasanya digunakan untuk
melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis.
Komunikasi non verbal informasi disampaikan dengan menggunakan isyarat
(gestures), gerak gerik (movement). (Mulyana, 2002: 6).
v
Secara teoritis
komunikasi verbal dan non verbal dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya
kedua jenis komunikasi ini saling menjalin satu sama lain dalam komunikasi yang
kita lakukan sehari-hari.
v Ada
Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Nonverbal, yaitu
1. Pendekatan
Etologi (Ethological Approach), yang terbagi menjadi Teori Struktur Kumulatif dan Teori Tindakan (Action
Theory).
2.
Pendekatan
Antropologi (Anthropological Approach),
yaitu Analogi linguistic
dan Analogi
Kultural.
3.
Pendekatan
Fungsional (Functional Approach), yang terdiri dari Teori Metaforis dari Mehrabian,
Teori Equilibrium, Teori Fungsional dari Patterson, dan Teori
Fungsional Komunikatif
v
Teori-Teori Komunikasi Verbal terbagi menjadi 4,
yaitu:
1. Pendekatan Natural (Nature Approach)
2. Pendekatan
Nurtural (Nurture Approach)
3. Teori
Fungsional tentang Bahasa (General
Semantics)
4 . Konstruktivisme:
Perspektif Pesan dalam Bahasa
DAFTAR PUSTAKA
Kleinjan dalam Hafid Canggara, Pengantar Ilmu
Komunikasi
makasiih banyak yaa . postingannya sangat membantu
BalasHapus